Sikap umat islam terhadap umat non islam (Hak-Hak Non Muslim menurut syariat islam)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah (mantan mufti kerajaan Arab Saudi-red) ditanyai:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah (mantan mufti kerajaan Arab Saudi-red) ditanyai:
Apa kewajiban seorang muslim terhadap non muslim, baik statusnya
sebagai Dzimmi di negeri kaum Muslimin atau ia berada di negerinya
sendiri dan si Muslim yang tinggal di negerinya? Kewajiban yang saya
maksud untuk dijelaskan di sini adalah bagaimana interaksi dengannya
dari segala aspeknya, mulai dari memberi salam hingga ikut merayakan
hari besarnya. Mohon pencerahan, semoga Allah subhanahu wata’ala
membalas kebaikan buat anda!
Beliau menjawab:
Kewajiban seorang Muslim terhadap non muslim ada beberapa bentuk, di antaranya:
1. Berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu dengan menyerunya
kepada Allah dan menjelaskan hakikat Islam kepadanya semampu yang dapat
ia lakukan dan berdasarkan ilmu yang ada padanya, sebab hal ini
merupakan bentuk kebaikan yang paling agung dan besar yang dapat
diberikannya kepada warga negara sesamanya dan etnis lain yang
berinteraksi dengannya seperti etnis Yahudi, Nashrani dan kaum Musyrikin
lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti (pahala) pelakunya.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, III, no.1506; Abu Daud, no.5129; at-Turmudzi, no.2671 dari hadits Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti (pahala) pelakunya.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, III, no.1506; Abu Daud, no.5129; at-Turmudzi, no.2671 dari hadits Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali
radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Khaibar dan memerintahkannya
menyeru orang-orang Yahudi kepada Islam,
“Demi Allah, sungguh Allah mem-beri hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu-red).” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, III:137; Muslim, IV:1872 dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)
“Demi Allah, sungguh Allah mem-beri hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu-red).” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, III:137; Muslim, IV:1872 dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda beliau yang lain,
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Dikeluarkan oleh Muslim, IV: 2060; Abu Daud, 4609; at-Turmudzi, 2674 dari jalur Isma’il bin Ja’far, dari al-’Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Jadi, dakwahnya kepada Allah subhanahu wata’ala, penyampaian Islam
dan nasehatnya dalam hal tersebut termasuk sesuatu yang paling penting
dan bentuk pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala yang paling
utama.
2. Tidak berbuat zhalim terhadap jiwa, harta atau pun kehormatannya
bila ia seorang Dzimmi (non muslim yang tinggal di negri kaum muslimin
dan tunduk kepada hukum Islam serta wajib membayar jizya), atau
Musta’man(non muslim yang mendapatkan jaminan keamanan) atau pun Mu’ahid
(non muslim yang mempunyai perjanjian damai). Seorang Muslim harus
menunaikan haknya (non Muslim) dengan tidak berbuat zhalim terhadap
hartanya baik dengan mencurinya, berkhianat atau pun berbuat curang. Ia
juga tidak boleh menyakiti badannya dengan cara memukul atau pun
membunuh sebab statusnya adalah sebagai seorang Mu’ahid, atau dzimmi di
dalam negeri atau Musta’man yang dilindungi.
3. Tidak ada penghalang baginya untuk bertransaksi jual beli, sewa
dan sebagainya dengannya. Berdasarkan hadits yang shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah membeli dari orang-orang
kafir penyembah berhala dan juga membeli dari orang-orang Yahudi. Ini
semua adalah bentuk mu’amalah (transaksi). Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam wafat, beliau masih menggadaikan baju besinya kepada
seorang Yahudi untuk keperluan makan keluarganya.
4. Tidak memulai salam dengannya tetapi tetap membalasnya. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah memulai
salam dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani.” (HR.Muslim, IV:1707 dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabdanya yang lain, “Bila Ahli Kitab memberi salam kepada kamu,
maka katakanlah: ‘Wa’alaikum.’ Muttafaqun alaih (HR. al-Bukhari,
IV:142; Muslim, IV:1706 dari hadits Abdullah bin Dinar, dari Ibn ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu)
Jadi, seorang Muslim tidak memulai salam dengan orang kafir akan
tetapi kapan orang Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya
memberi salam kepadanya, maka hendaknya ia mengucapkan, Wa’alaikum.
Sebagai-mana yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini
termasuk hak-hak yang disyari’atkan antara seorang Muslim dan orang
kafir.
Hak lainnya adalah bertetangga yang baik. Bila ia tetangga anda, maka
berbuat baiklah terhadapnya, jangan mengusik-nya, boleh bersedekah
kepadanya bila ia seorang yang fakir. Atau boleh memberi hadiah
kepadanya bila ia seorang yang kaya. Boleh pula menasehatinya dalam
hal-hal yang bermanfa’at baginya sebab ini bisa menjadi motivator ia
berhasrat untuk mengenal dan masuk Islam. Juga, karena tetangga memiliki
hak yang agung sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Jibril senantiasa berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga
hingga aku mengira ia akan memberikan hak waris kepadanya.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Juga sebagaimana makna umum dari firman Allah subhanahu wata’ala, artinya:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.al-Mumtahanah:8)
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.al-Mumtahanah:8)
Dan dalam hadits yang shahih dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu
‘anha, bahwa Ibundanya datang kepadanya saat ia masih musyrik di masa
perundingan damai yang terjadi antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan penduduk Mekkah, ibundanya datang kepadanya meminta bantuan, lantas
Asma’ meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi mengenai hal tersebut;
apakah ia boleh menyambung rahim dengannya? Maka, Nabi pun bersabda,
“Sambunglah rahim dengannya.” (al-Bukhari, II:242; Muslim, II:696 dari
hadits Asma’ radhiyallahu ‘anha)
Namun begitu, seorang Muslim tidak boleh ikut serta merayakan pesta
dan hari besar mereka. Tetapi tidak apa-apa melawat jenazah mereka bila
melihat ada kemashlahatan syari’at dalam hal itu seperti dengan
mengucapkan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala mengganti musibah yang
kamu alami ini” atau “Semoga Dia mendatangkan pengganti yang baik
buatmu,” dan ucapan baik semisal itu.
Hanya saja, tidak boleh mengucapkan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala
mengampuninya” atau “Semoga Allah merahmatinya” bila ia seorang kafir.
Artinya, tidak boleh berdoa untuk si mayit tetapi boleh berdoa untuk
orang yang masih hidup agar mendapat hidayah, mendapat pengganti yang
shalih dan semisal itu.
sumber: www.alsofwah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar