Oleh Bayu Gawtama
Usianya baru 12 tahun, duduk di bangku kelas 6 Madrasah
Ibtida’iyah –setingkat Sekolah Dasar-, namun posturnya yang tinggi
membuat orang mengira ia siswa kelas 3 SMP. Januar Rizky, atau biasa
dipanggil Kiki, tak kenal lelah mengumpulkan ikat demi ikat daun
singkong yang berhasil dikumpulkannya setiap pulang sekolah. Kulit hitam
dan merah di rambutnya adalah bukti kerasnya hidup yang dijalani bocah
dari keluarga tak mampu ini. Namun, semua dilakukannya demi satu
cita-cita, “Saya ingin membahagiakan ibu,” ujarnya malu-malu.
Setiap hari sepulang sekolah, Kiki dijemput bosnya dengan sepeda
motor dan diajak ke ladang singkong. Bersama belasan anak sebayanya yang
lain, Kiki berpacu dengan waktu memetik pucuk daun singkong yang oleh
bosnya nanti dijual ke pasar. Jika Anda biasa makan lalap daun singkong
di rumah makan Padang, boleh jadi itu adalah hasil petikan tangan Kiki.
Untuk satu ikat kecil daun singkong yang dipetiknya, Kiki mendapat upah
Rp 20,-, jumlah yang teramat kecil untuk simbah-peluhnya. Namun dasar
Kiki adalah pekerja keras yang tak kenal lelah, sejak siang hingga senja
tak kurang 150 ikat berhasil dikumpulkannya. Kiki pun tersenyum puas
menghitung uang hasil jerih payahnya. Menjelang maghrib ia bersegera
pulang.
“1.500 buat ibu, buat masak. Sisanya saya simpan buat bayar sekolah
dan uang jajan Rini,” ujar Kiki yang teramat sayang terhadap Rini,
adiknya yang baru kelas 3 sekolah dasar. Tak heran, setiap bulannya,
orangtuanya tak perlu repot mengeluarkan uang bayaran sekolah, karena
Kiki sudah bisa membayar sendiri uang sekolahnya. Untungnya, ada BOS
(Bantuan Operasional Sekolah), sehingga biaya sekolah lebih murah.
Bahkan untuk membeli buku pelajaran pun, Kiki tak mau meminta. Kiki
sadar, orangtuanya bukan orang yang mampu, sehingga ia tak mau
merepotkan.
Sudah satu pekan ini Kiki tak mau bersekolah. Pasalnya, ia malu
setiap hari harus ditegur guru dan kepala sekolahnya lantaran ia tak
bersepatu. Setiap hari, Kiki hanya bersandal jepit ke sekolahnya. Selama
ini, teguran dari gurunya ia simpan dalam hati. Tak ingin ia mengadukan
perihal tersebut kepada Ayahnya. Ayah Kiki, hanya seorang pembuat
miniatur menara dari bambu. Penghasilannya tak tentu, tergantung
pesanan. Pesanan pun baru bisa dipenuhi sang Ayah jika ada modal untuk
membeli bahan baku. Sementara ibunya, hanya seorang ibu rumah tangga
yang menderita stroke, butuh biaya besar untuk mengobati
penyakitnya. Alhasil, Kiki pun tahu diri untuk menuntut dibelikan
sepatu. Tak hanya Kiki, Rini sang adik pun sekolah tanpa sepatu.
Bukan cuma soal sepatu, baju seragam Kiki pun bukan hasil beli di
toko, melainkan pemberian dari teman-temannya atau kakak kelasnya yang
sudah lulus. Wajarlah bila seragam Kiki terlihat lebih jelek dari siswa
lainnya, maklum bukan barang baru. Pernah satu hari Kiki harus mendobeli
celana seragamnya dengan celana mainnya, karena celana seragam
pemberian dari temannya lebih besar dari ukuran tubuhnya. Usahanya untuk
tetap berseragam malah mendapat teguran dari seorang guru, karena
celana mainnya yang lebih panjang itu menyembul dari celana hijau
seragamnya. Lucu? Tentu tidak, ini menyedihkan buat Kiki.
Menjelang ujian bulan April 2006 nanti, Kiki semakin resah. Kepala
sekolah sudah mengancam tak mengizinkan Kiki mengikuti ujian jika Kiki
tetap bersandal ke dalam kelas. Kiki pun mengeluhkan hal ini kepada
Ayahnya. Namun apa daya, sang Ayah pun hanya bisa pasrah dan mengucap
janji, “Insya Allah”.
Pucuk daun singkong yang setiap hari dipetiknya semakin lama semakin
habis. Ladang yang biasa menjadi tempatnya mencucurkan peluh itu, hanya
menyisakan batang-batang singkong tak berdaun. Kiki dan teman-temannya
pun diboyong pindah ke ladang lainnya yang lebih jauh. Hingga tak
jarang, Kiki harus pulang selepas Isya. Bila tak ada lagi ladang
singkong yang harus dipetik pucuknya, Kiki pun beralih profesi sebagai
pemanjat pohon pepaya. Rupanya, bisnis si bos bukan hanya menjual daun
singkong, tetapi juga menjual pepaya di pasar. Kiki dan seorang temannya
lah yang diandalkan sebagai pemanjat. Meski jarang, tetapi hasil
memetik buah pepaya ini lebih besar, yakni Rp 5.000,- perhari.
Kiki harus membayar mahal untuk kegiatannya sehari-hari itu, baik
memetik pucuk daun singkong maupun pepaya. Bukan hanya warna kulitnya
yang makin legam tersengat matahari, tapi prestasi di sekolahnya pun
menurun. Dulu sebelum ia menjalani semua ini, ia masih mampu bersaing
dengan teman-temannya dan meraih peringkat dua atau tiga di kelas. Kini,
peringkatnya jauh menurun. Anak sekecil itu terlalu lelah membanting
tulang untuk tiga ribu rupiah perhari.
Esok, semoga Kiki mau bersekolah lagi. Ada sedikit rezeki untuk
membeli sepatu baru buat Kiki. Senyum ceria si pemetik pucuk daun itulah
yang dinanti di hari depan, bukan karena ia berhasil mengumpulkan
seribu ikat daun singkong perhari. Melainkan senyum atas prestasi
tertinggi yang diraihnya di sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar