Rohis Tazakka SMK Negeri 1 Bantul

"Fi Thoriqil Islami Jihaduna"

Assalamu'alaikum

Perkenalkan, kami dari Rohis Tazakka SMKN 1 Bantul mempersembahkan sebuah blog yang bertujuan untuk media penyampaikan informasi kegiatan, dakwah dan juga sebagai media mempererat ukhuwah di berbagai kalangan, khususnya pelajar.

Berikut profil singkat kami

Rohis Tazakka SMKN 1 Bantul merupakan suatu organisasi di bawah OSIS sekbid Ketaqwaan. Pada awal pembentukannya, nama Takmir Musholla Ath Tholibin lah yang dipilih menjadi nama organisasi ini sebelum berubah nama menjadi Rohis Tazakka. Nama Tazakka diambil dari QS Al A'la ayat 14 yang berarti membersihkan diri. Hingga saat ini sudah ada 13 generasi yang telah mengabdikan diri bersama Rohis Tazakka.

Perjuangan dakwah tidak akan terhenti apabila sudah menjadi alumni. Ini dikarenakan Rohis Tazakka memiliki organisasi khusus alumni Rohis yang bernama FORMASSKA ( Forum Alumni Rohis SKANSABA ) yang masih terus aktif dan membantu para pejuang muda Rohis SMK Negeri 1 Bantul.

Rohis Tazakka mempunyai jargon Fii Thoriqil Islami Jahadna yang artinya Di Jalan Islam Kami Berjuang. Organisasi ini mempunyai visi mewujudkan warga SMK yang cerdas dan berakhlak mulia, sedangan misinya ialah berjuang dengan niat karena Allah swt.

Info lebih lanjut hubungi kami di
Facebook : Rohis Tazakka
Twitter : @Rohis_Tazakka
Instagram : @rohistazakka

KISAH ABU JAHAL, ABU LAHAB DAN MUSAILAMAH AL KADZAB

Kisah Abu Lahab tercantum dalam Al Qur’an surat Al Lahab (surat ke 111) ayat satu sampai dengan ayat lima yang artinya:

Dengan menyebut nama Allah Yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang
  1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa

  2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan

  3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak

  4. Dan ( begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar

  5. Yang di lehernya ada tali dari sabut

Lanjutkan Membaca..

Asisten Pribadi

Oleh LIzsa Anggraeny

Tak terasa jam di tangan sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Bergegas saya turuni

Lanjutkan Membaca..

Usang Sudah Nyanyian Cinta

Oleh Bayu Gawtama

“Waktuku kecil hidupku

Lanjutkan Membaca..

Nikmat, Begitu Banyak Terlewatkan Tanpa Mensyukurinya

Oleh Bunda Shafiya

Saat itu kami; aku, bapak dan Shafiya sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah.

Lanjutkan Membaca..

Tengoklah ke "Dalam" sebelum Bicara

Oleh Sus Woyo

Ada sebuah kisah kecil, ketika saya masih aktif bersama teman-teman di organisasi remaja

Lanjutkan Membaca..

Silaturohim itu. . .

Oleh Azimah Rahayu

Hujan di bulan Januari benar-benar telah menjadi hujan sehari-hari. Seperti hari itu, sebuah ahad dengan langit yang pekat. Mendung menggantung di setiap ujung langit, menghias segala lintas cakrawala. Sepanjang waktu ia menumpahkan bebannya. Beberapa saat merintik, kemudian menderas dan kadang mengguyur. Namun laki-laki itu tetap tak jeri. Tenang dan mantap dia mengendarai motornya, dengan kecepatan rata-rata, meski sesekali digebernya juga. Sesosok perempuan yang menggelendot di punggungnya tak sekalipun membuatnya mengeluh pegal dan sejenisnya. Istrinya. Ini adalah perjalanan berikutnya, setelah sebelumnya mereka menyusuri jalanan Jakarta nyaris 1,5 jam lamanya. Ini adalah perjalanan ke tujuan selanjutnya, setelah sebelumnya bercengkerama selama hampir dua jam bersama sebuah keluarga salah satu kerabatnya.
Hujan di bulan Januari sungguh memang berarti hujan sehari-hari. Seperti siang itu, sebuah siang dengan mendung gelap. Genangan air meriak di sepanjang jalan. Angin basah berkesiur, menebarkan hawa dingin menggigilkan. Suasana yang membuat nyaris semua orang enggan meninggalkan rumah. Namun laki-laki itu tak merasa perlu untuk membatalkan perjalanan selanjutnya. Sejak matahari belum lagi sepenggalah, mereka telah meninggalkan rumah. Di rumah keluarga pertama, mereka telah sekalian beristirahat sejenak sambil mengeringkan badan serta shalat dzuhur dan makan siang. Maka kini tiba saatnya mereka menuju tempat berikutnya, 45 menit lamanya naik motor dengan kecepatan rata-rata.

Perempuan di boncengan motor itu termenung. Betapa adil Allah yang mempertemukan dirinya dengan laki-laki ini. Di masa lajangnya, ia amat jarang bertandang ke kaum kerabatnya. Bukan, bukan karena ia tak punya kerabat di Jakarta, namun aktifitasnya yang sangat padat telah membuatnya nyaris tak punya waktu untuk bersilaturahmi, bahkan untuk dirinya sendiri. “Kapan terakhir kali kau berkunjung ke rumah bude-mu (sepupu ibunya) di Tebet?” pernah suaminya bertanya. “Hmm, mungkin dua atau tiga tahun lalu,” jawab perempuan itu ragu. “Kalau begitu, bude-mu mendapat jatah giliran silaturahmi pertama, oke?” saran sang suami.

Air kembali tumpah saat mereka tiba di sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Sepasang anak kembar berceloteh riang menyambut mereka, bahkan kemudian menantang sang suami bermain catur. Seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu, bercengkerama dan bercanda gembira. Kadang-kadang, cengkerama itu diselingi diskusi seru tentang pekerjaan dan kondisi Indonesia kontemporer. Selesai shalat ‘asar, mereka kembali memacu kendaraan ke tujuan ketiga. Lagi-lagi, rintik hujan kembali menghalangi pandangan mata. Kali ini, tak sampai tiga puluh menit mereka telah sampai di tujuan. Sayang, sang tuan rumah sedang jalan-jalan ke mall. “Kita tunggu saja, paling sebentar lagi pulang!” demikian simpul si laki-laki. Sang istri tak terkejut. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa pekan sebelumnya mereka pernah mengunjungi seorang kerabat di Pasar Rebo yang jauhnya lebih dari dua puluh kilo meter dari rumah mereka. Sayang sekali, rumah yang mereka kunjungi tak berpenghuni. Mereka kembali pulang dalam gerimis, setelah menitip pesan ke tetangga. Pekan depannya, laki-laki itu kembali mengajak sang istri untuk mengunjungi keluarga itu. ‘Kemarin kan kita belum ketemu mereka?” demikian alasannya. Meski merasa aneh, sang istri hanya mengangguk saja. Ini adalah pelajaran untuk sebuah ketulusan, demikian batinnya.

Air bagai dicurahkan dari langit ketika keluarga yang dikunjungi tiba di rumah. Sesosok balita laki-laki menghambur ke pelukan istri pria itu dan berceloteh riang, ”Tante, tadi aku ke Ramayana!” Hingga setelah shalat magrib dan hujan tak lagi mengguyur, mereka kembali menyusuri jalanan, menempuh jarak nyaris 40km. Pulang. Namun belum jauh mereka meninggalkan rumah yang dikunjungi, laki-laki itu membelokkan motornya ke jalan yang berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. “Kita mampir sebentar ke kost-an temenku. Sudah lama dia tak berkabar dan belum juga memenuhi janjinya berkunjung ke rumah kita,” tanpa ditanya, dia menjelaskan kepada istrinya.

Malam telah cukup jauh beranjak saat mereka tiba kembali di istana mungil mereka. Masih dengan kostum lengkap, sang istri langsung merebahkan diri di pembaringan. “Aku meluruskan badan sebentar, ya. Punggungku pegal sekali dan pantatku panas,” seringainya lucu. Dia bertanya-tanya jika ia yang hanya membonceng di belakang saja secapek itu, seperti apa lelah suaminya yang menyetir di depan dengan beban dirinya di punggung, plus terpaan angin dan hujan dari depan? Tapi laki-laki itu hanya tersenyum, mengusap keningnya dan berkata,”Pekan depan kita ke rumah Bulik Nur di Tambun, yuk, Dek?”
Dalam deraan penat dan dengan mata tertutup, perempuan itu mengangguk mantap. Di benaknya terbayang sambutan hangat kaum kerabat dan sahabat-sahabat suaminya saat ia dan suaminya mengunjungi mereka. Di telinganya terngiang kembali komentar beberapa kerabat lain,”Suamimu itu dari dulu terkenal kenceng silaturahminya, makanya dia disayang oleh saudara-saudaranya.” Dia membuka mata saat sang suami menyentuh lengannya. “Kita sudah seminggu lebih nggak main ke rumah Mbak Nik, ya Dek?” tanya suaminya retoris. “Besok malam, insyaAllah,” jawabnya pendek. Padatnya pekerjaan telah melewatkan jadwal mingguan mereka berkunjung ke salah satu kerabat yang rumahnya hanya terpisah jarak dua gang dari rumah mereka itu. Perempuan itu kembali mengatupkan kelopak matanya. Di benaknya kini terlintas kata bijak para ulama, silaturahmi itu memanjangkan umur dan melapangkan rizki. Di benaknya kini terlintas sabda rasul agar setiap anak menjaga silaturahmi dengan kerabat dan sahabat orang tuanya. (@Azimah Rahayu)
# Lt. 8, hujan sore-sore, 26/01/06

Sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/silaturahmi-itu.htm

Lanjutkan Membaca..

Karena Mereka Cinta

Oleh DH Devita

Being annoyed by others, mungkin itu yang sebagian besar dialami oleh anak-anak remaja,

Lanjutkan Membaca..

Belajar Bersabar

Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa'

Pagi, saat akan berangkat menuju tempat kerja, aku sudah disuguhi pemandangan yang

Lanjutkan Membaca..

Beragi Kata

Oleh Indah Prihanande

Ketika dukungan manusia tidak kita dapatkan, pun untuk secuil kata motivasi. ketika diri

Lanjutkan Membaca..

Selamat Pagi

Oleh Nur Afiati

Ada tiga penghuni di rumah kami saat ini: saya, suami dan anak pertama kami berusia 2

Lanjutkan Membaca..

berbegi Semangat

Oleh Anisa Kuffa

“Sa, kamu lagi sibuk nulis apa sekarang ini?”

Lanjutkan Membaca..

Hati Yang Lembut

Oleh Adi Junjunan Mustafa

Sudah sekitar empat tahun saya mengenalnya. Pembawaannya amat tenang. Akan tetapi senyum lembut senantiasa tersungging setiap kali ia mendapatkan kabar gembira dari sahabat-sahabatnya. Sesekali senyum lebar ia tebarkan, ketika salah seorang sahabatnya menyampaikan cerita lucu. Ya, senyum lebar saja dengan suara yang rendah. Tak pernah ada tawa nyaring keluar dari mulutnya. Ia bukanlah seorang orator. Bahkan ia seorang yang amat pendiam. Sepertinya setiap kalimat yang ia ucapkan telah melalui perenungan yang mendalam. Tak ada yang ia katakan kecuali kalimat yang bermanfaat.
Ada satu waktu pada masa perkenalan, di mana saya merasa tidak bisa bersabar dengan sifat pendiamnya. Waktu juga yang membuka hati saya untuk mengenalnya lebih dekat. Pada diamnya saya seolah menemukan pesan Rasulullahu saw: ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaknya mengucapkan kata-kata yang baik atau diam.”
Saya tidak menemukan sifat “senang tampil” pada dirinya. Jika duduk pada sebuah majelis, maka ia lebih cenderung duduk di belakang. Ketika dimintakan untuk berbicara pada forum umum, selalu saja ia cenderung mempersilakan yang lain terlebih dahulu. Ketika dalam halaqah tarbiyah (lingkaran pengajian Islam) diadakan evaluasi tentang prestasi kerja profesi masing-masing peserta, ia cenderung menyembunyikannya. Kalau bukan karena tuntutan muhasabah kerja da’wah, saya yakin ia tidak akan pernah menceritakan prestasinya. Akan tetapi, ketika ada tugas-tugas da’wah dilimpahkan kepadanya, ia akan laksanakan tugas-tugas itu tanpa pernah ada protes sedikitpun.
Begitu mudah ayat-ayat Quran menyentuh lubuk hatinya. Suaranya selalu bergetar ketika ia membaca ayat-ayat Quran. Tidak jarang saya melihat matanya berkaca-kaca dan menangis pada saat bertilawah atau ketika sedang saling mengecek hafalan Quran. Menyaksikan kelembutan hatinya terhadap Quran mengingatkan saya pada ucapan Aisyah ra ketika Nabi Muhammad saw meminta Abubakar ash-Shiddiq ra. mengimami kaum muslimin saat beliau sakit, ”Ya Rasulullah janganlah Abubakar diminta mengimami, sebab ia gampang menangis kalau membaca Quran.”

Salah satu rangkaian ayat yang saya duga amat menyentuh hatinya adalah: “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabbmu Maha Luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (QS. 53:31-32). Pada satu tadzkirah singkatnya saya amat merasakan pesan yang kuat menghujam ke dalam hati,” … maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.”
Barangkali pesan itulah yang senantiasa ia bisikan ke dalam jiwanya sendiri, sehingga ucapannya dengan nada rendah terdengar nyaring pada hati saya. Ketika ada sahabatnya yang ditimpa duka, ia dengarkan dengan seksama kisahnya. Lalu tampaklah wajahnya menyimpan duka yang sama. Lalu ia akan berikan bantuan sebesar yang ia bisa berikan, terkadang dengan bantuan yang amat besar. Sahabat yang dibantunya sedikitpun tak merasakan perubahan sikapnya setelah ia membantu. Seolah tak ada kejadian apapun yang telah terjadi. Dan seolah ia ingin mengucapkan,“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (QS. 76:9-10) ***

Ya Allah, berikanlah kebaikanMu kepadanya. Peliharalah ia dalam keimanan yang istiqamah. Terima kasih ya Allah, Engkau telah mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat yang baik, maka jadikanlah saya bagian dari mereka. Ya Allah, apapun kenikmatan yang sampai kepada saya atau kebaikan dari salah seorang ciptaanMu, maka itu semua dariMu semata; Tiada sekutu bagiMu. Maka bagimu segala pujian dan bagimu segala ungkapan terima kasih.
Chiba, 19 Muharram 1427

Sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/hati-yang-lembut.htm

Lanjutkan Membaca..