Rohis Tazakka SMK Negeri 1 Bantul

"Fi Thoriqil Islami Jihaduna"

Assalamu'alaikum

Perkenalkan, kami dari Rohis Tazakka SMKN 1 Bantul mempersembahkan sebuah blog yang bertujuan untuk media penyampaikan informasi kegiatan, dakwah dan juga sebagai media mempererat ukhuwah di berbagai kalangan, khususnya pelajar.

Berikut profil singkat kami

Rohis Tazakka SMKN 1 Bantul merupakan suatu organisasi di bawah OSIS sekbid Ketaqwaan. Pada awal pembentukannya, nama Takmir Musholla Ath Tholibin lah yang dipilih menjadi nama organisasi ini sebelum berubah nama menjadi Rohis Tazakka. Nama Tazakka diambil dari QS Al A'la ayat 14 yang berarti membersihkan diri. Hingga saat ini sudah ada 13 generasi yang telah mengabdikan diri bersama Rohis Tazakka.

Perjuangan dakwah tidak akan terhenti apabila sudah menjadi alumni. Ini dikarenakan Rohis Tazakka memiliki organisasi khusus alumni Rohis yang bernama FORMASSKA ( Forum Alumni Rohis SKANSABA ) yang masih terus aktif dan membantu para pejuang muda Rohis SMK Negeri 1 Bantul.

Rohis Tazakka mempunyai jargon Fii Thoriqil Islami Jahadna yang artinya Di Jalan Islam Kami Berjuang. Organisasi ini mempunyai visi mewujudkan warga SMK yang cerdas dan berakhlak mulia, sedangan misinya ialah berjuang dengan niat karena Allah swt.

Info lebih lanjut hubungi kami di
Facebook : Rohis Tazakka
Twitter : @Rohis_Tazakka
Instagram : @rohistazakka

Di Balik Yang Dekat

Oleh Bahtiar HS

Saya mendekati taksi biru itu. Sebenarnya saya ragu, karena Kramat Raya bukan jarak yang jauh dari Cempaka Emas, tempat saya berdiri sekarang ini. Paling 10-15 menit sudah sampai. Jarak sedekat itu tentu tidak sebanding dengan lamanya sopir taksi tersebut mangkal di tempat ini. Oleh karenanya, saya sudah bersiap untuk tidak kecewa.
Saya buka pintu belakang taksi itu.
"Kramat Raya, Pak?" tanya saya setengah ragu. "Mari, Pak!" kata sopir taksi itu mengiyakan, tanpa berpikir sejenakpun.
Tentu saja saya gembira, karena tidak menyangka lelaki itu bakal mau mengantar.
Saya segera naik ke jok belakang, menutup pintu. Taksi pun melaju. Sebentar kemudian berputar 180 derajat di perempatan Cempaka Putih. Sekarang melaju ke arah Senen.
"Kok Bapak mau ke Kramat? Kan jaraknya dekat aja, Pak?" tanya saya memancing.
"Kita kan tidak pernah tahu ada apa di balik yang dekat itu, Pak," katanya sejenak kemudian. Senyumnya saya lihat di spion atas kepalanya. "Jika penumpang yang jarak dekat tidak diambil, rasanya seperti tidak menghargai Tuhan yang membagi rezeki buat kita."

Berkata bijak ternyata bukan hanya monopoli kaum filosof. Tetapi juga bisa keluar dari mulut Firmansyah, begitu nama yang terpampang di dashboard, seorang sopir taksi bersahaja yang saya temui pagi ini.
Maka meluncurlah cerita "filosof" yang sopir taksi itu.
"Saya banyak mengalami, kadang memang rasanya gimana gitu ketika sudah lama ngantri, ternyata dapat penumpang yang dekat," katanya sembari menarik napas perlahan. "Dapat lagi, dekat lagi. Dapat lagi, dekat lagi."
Saya cuma tersenyum. Tentu saja saya bisa merasakan "duka" itu. Seperti kita mengharapkan durian runtuh, tetapi apa daya jika kenari yang ternyata melayang jatuh.
"Tetapi, tak jarang," imbuh lelaki itu, "saya dapat yang dekat-dekat, tetapi berkali-kali. Juga pernah sekalinya dapat yang jauh, tetapi setelah itu baliknya tidak membawa penumpang sama sekali."

Ia tersenyum di tengah klakson jembatan layang menuju Kemayoran.
Saya mengangguk-angguk.
"Yah, artinya lebih baik terima saja yang masuk ke taksi, entah jurusan dekat ataupun jauh," kata saya. "Karena kita tidak pernah tahu, setelah itu dapat rezeki dalam bentuk apa lagi."


Beberapa hari berikutnya, saya menumpang taksi dari tempat dan dengan tujuan yang sama. Kali ini Bluebird, langganan saya.

   "Kok Bapak mau mengantar penumpang dengan tujuan yang dekat seperti saya?" tanya  
   saya memancing. Taksi sedang melaju ke arah Senen. Saya mencomot roti sarapan pagi 
   dengan sekotak minuman dingin.
    Ia tertawa.

   "Jangankan Kramat Raya, Pak," katanya bersemangat, "bahkan saya pernah mengantar 
    orang dari Cempaka Emas ke Ruko Cempaka Emas!"
   "O, ya?" sergah saya heran. Jarak itu tak lebih dari selemparan lembing atau sebidikan 
    panah. "Argo Bapak bahkan mungkin tidak sempat bergerak dari angka awal lima ribu 
    perak, dong?"

"Yah, waktu itu sedang macet sih. Sempat nyampai enam ribu rupiah."
Saya mengangguk-angguk. Saya berandai-andai. Lima belas persen dari enam ribu tak lebih dari seribu rupiah. Itu yang dia dapat untuk mengantar penumpang sedekat itu, buah dari mengantri di pool mungkin setengah hari.
"Belum lagi ketika kembali ke pool, ternyata sudah penuh," katanya menerawang. "Harus berputar dulu tiga-empat kali untuk dapat antrian lagi."
"Wah, susah juga, ya Pak?" timpal saya. Sudah dapat yang sangat dekat, kembali ke pool antri di paling belakang lagi. Itu pun setelah muter lebih dulu.
"Ya. Bahkan saya pernah, sudah mengantri di belakang, diserobot teman lagi," katanya enteng, bahkan cenderung riang. "Saya sih pasrah saja. Tidak lama, teman saya mendapat penumpang dengan tujuan Patra Jasa. Sebentar kemudian, seorang penumpang mengetok pintu mobil saya. Cikarang, Pak? Tentu saja saya ambil karena jaraknya jauh, berlipat-lipat dibandingkan Patra Jasa."
Saya ikut tersenyum mendengar ceritanya. "Itu semua buah dari keikhlasan, Pak."
"Alhamdulillah, saya nggak pernah menolak penumpang sedekat apapun tujuan mereka. Saya yakin, Allah memberikan rezeki saya dengan cara yang demikian. Kadang sedikit, kadang banyak. Saya tidak pilih-pilih."
Demikianlah Pak Endang, begitu namanya terpampang di dashboard, menyimpulkan. Sebuah kesimpulan sederhana yang tidak sesederhana maknanya.


Saya banyak belajar dari kedua orang itu, Pak Firmansyah dan Pak Endang; sopir-sopir taksi yang sederhana. Mereka masih "menghargai Tuhan", begitu bahasa mereka. Caranya sungguh sangat sederhana: mengantarkan penumpang yang naik taksi mereka, meski dekat sekalipun jaraknya. Menolak penumpang, sama saja dengan menolak rezeki yang sudah Allah hidangkan di hadapan. Menolak penumpang, sama halnya tidak menghargai Sang Pembagi Rezeki. Karenanya, tidak ada yang sepatutnya harus dilakukan, bagi mereka, kecuali ikhlas mengantar.
Terbukti dalam berbagai kesempatan mengantar penumpang yang dekat itu, ternyata sambung-menyambung dengan penumpang yang turun naik; begitu satu penumpang turun, ada yang langsung naik. Bahkan tak jarang, banyak penumpang jarak dekat yang memberikan "uang lebih" berkat kesediaan mereka mengantar tanpa mengeluh. Jumlahnya sering lebih banyak ketimbang persentase yang mereka terima dari mengantar penumpang jarak jauh. Jarak dekat, karenanya tidak lantas identik dengan rezeki cekak.
Sungguh sebuah sikap hidup yang, kata orang Jawa, sumarah. Pasrah, tetapi bukan layaknya wayang. Dalam bahasa agama, barangkali inilah pengejawantahan sikap tawakal setelah berazam. Bukan sikap pasrah yang salah-kaprah; yang sering salah dipahami sebagai "pulung sugih pulung mlarat". Kalau Tuhan menakdirkan kita kaya, tanpa berusaha pun, kita akan kaya. Kalau ditakdir miskin, bekerja keras peras-keringat-banting-tulang sekalipun ibaratnya, tetap akan miskin.

Saya lantas teringat dengan sebuah hadits, bahwa Allah itu tergantung pada persangkaaan (dzon) hamba pada-Nya. Kedua lelaki di atas, dalam pandangan saya, telah memberikan persangkaan yang baik pada rencana Tuhan di balik penumpang yang dekat itu. Ketika sopir yang lain menyangka "rugi" ketika harus mengantar penumpang yang dekat, keduanya tidak pernah berprasangka demikian.
Boleh jadi keduanya tidak hapal dengan ayat Al-Qur'an tentang rezeki yang min haitsu laa yahtasib. Tetapi saya yakin, keduanya, juga kita, paham bahwa rezeki itu datangnya bisa tidak disangka-sangka. Tetapi sementara kedua sopir di atas sudah mempraktekkan pemahaman itu di kehidupan keseharian, kita sendiri barangkali masih berkutat pada tataran teori.
Jika Nabi Musa pernah belajar kepada Khidir, kita yang bukan siapa-siapa ini tak ada salahnya belajar pada orang-orang sederhana seperti kedua sopir taksi di atas. Benar juga sebuah tulisan yang say a baca terpampang di sebuah Sekolah Merdeka di tepi Ranu Klakah Lumajang, dan selalu terpatri dalam ingatan saya hingga kini: jika semua tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru. Dan Pak Firmansyah serta Pak Endang, adalah guru saya hari ini.
Wa Allahu a'lamu bi ash-shawab.
Bahtiar HS, Ketua FLP Jatim 2004-2006 bahtiarhs.multiply.com

0 komentar:

Posting Komentar