Rohis Tazakka SMK Negeri 1 Bantul

"Fi Thoriqil Islami Jihaduna"

Assalamu'alaikum

Perkenalkan, kami dari Rohis Tazakka SMKN 1 Bantul mempersembahkan sebuah blog yang bertujuan untuk media penyampaikan informasi kegiatan, dakwah dan juga sebagai media mempererat ukhuwah di berbagai kalangan, khususnya pelajar.

Berikut profil singkat kami

Rohis Tazakka SMKN 1 Bantul merupakan suatu organisasi di bawah OSIS sekbid Ketaqwaan. Pada awal pembentukannya, nama Takmir Musholla Ath Tholibin lah yang dipilih menjadi nama organisasi ini sebelum berubah nama menjadi Rohis Tazakka. Nama Tazakka diambil dari QS Al A'la ayat 14 yang berarti membersihkan diri. Hingga saat ini sudah ada 13 generasi yang telah mengabdikan diri bersama Rohis Tazakka.

Perjuangan dakwah tidak akan terhenti apabila sudah menjadi alumni. Ini dikarenakan Rohis Tazakka memiliki organisasi khusus alumni Rohis yang bernama FORMASSKA ( Forum Alumni Rohis SKANSABA ) yang masih terus aktif dan membantu para pejuang muda Rohis SMK Negeri 1 Bantul.

Rohis Tazakka mempunyai jargon Fii Thoriqil Islami Jahadna yang artinya Di Jalan Islam Kami Berjuang. Organisasi ini mempunyai visi mewujudkan warga SMK yang cerdas dan berakhlak mulia, sedangan misinya ialah berjuang dengan niat karena Allah swt.

Info lebih lanjut hubungi kami di
Facebook : Rohis Tazakka
Twitter : @Rohis_Tazakka
Instagram : @rohistazakka

Di Balik Yang Dekat

Oleh Bahtiar HS

Saya mendekati taksi biru itu. Sebenarnya saya ragu, karena Kramat Raya bukan jarak yang jauh dari Cempaka Emas, tempat saya berdiri sekarang ini. Paling 10-15 menit sudah sampai. Jarak sedekat itu tentu tidak sebanding dengan lamanya sopir taksi tersebut mangkal di tempat ini. Oleh karenanya, saya sudah bersiap untuk tidak kecewa.
Saya buka pintu belakang taksi itu.
"Kramat Raya, Pak?" tanya saya setengah ragu. "Mari, Pak!" kata sopir taksi itu mengiyakan, tanpa berpikir sejenakpun.
Tentu saja saya gembira, karena tidak menyangka lelaki itu bakal mau mengantar.
Saya segera naik ke jok belakang, menutup pintu. Taksi pun melaju. Sebentar kemudian berputar 180 derajat di perempatan Cempaka Putih. Sekarang melaju ke arah Senen.
"Kok Bapak mau ke Kramat? Kan jaraknya dekat aja, Pak?" tanya saya memancing.
"Kita kan tidak pernah tahu ada apa di balik yang dekat itu, Pak," katanya sejenak kemudian. Senyumnya saya lihat di spion atas kepalanya. "Jika penumpang yang jarak dekat tidak diambil, rasanya seperti tidak menghargai Tuhan yang membagi rezeki buat kita."

Berkata bijak ternyata bukan hanya monopoli kaum filosof. Tetapi juga bisa keluar dari mulut Firmansyah, begitu nama yang terpampang di dashboard, seorang sopir taksi bersahaja yang saya temui pagi ini.
Maka meluncurlah cerita "filosof" yang sopir taksi itu.
"Saya banyak mengalami, kadang memang rasanya gimana gitu ketika sudah lama ngantri, ternyata dapat penumpang yang dekat," katanya sembari menarik napas perlahan. "Dapat lagi, dekat lagi. Dapat lagi, dekat lagi."
Saya cuma tersenyum. Tentu saja saya bisa merasakan "duka" itu. Seperti kita mengharapkan durian runtuh, tetapi apa daya jika kenari yang ternyata melayang jatuh.
"Tetapi, tak jarang," imbuh lelaki itu, "saya dapat yang dekat-dekat, tetapi berkali-kali. Juga pernah sekalinya dapat yang jauh, tetapi setelah itu baliknya tidak membawa penumpang sama sekali."

Ia tersenyum di tengah klakson jembatan layang menuju Kemayoran.
Saya mengangguk-angguk.
"Yah, artinya lebih baik terima saja yang masuk ke taksi, entah jurusan dekat ataupun jauh," kata saya. "Karena kita tidak pernah tahu, setelah itu dapat rezeki dalam bentuk apa lagi."


Beberapa hari berikutnya, saya menumpang taksi dari tempat dan dengan tujuan yang sama. Kali ini Bluebird, langganan saya.

   "Kok Bapak mau mengantar penumpang dengan tujuan yang dekat seperti saya?" tanya  
   saya memancing. Taksi sedang melaju ke arah Senen. Saya mencomot roti sarapan pagi 
   dengan sekotak minuman dingin.
    Ia tertawa.

   "Jangankan Kramat Raya, Pak," katanya bersemangat, "bahkan saya pernah mengantar 
    orang dari Cempaka Emas ke Ruko Cempaka Emas!"
   "O, ya?" sergah saya heran. Jarak itu tak lebih dari selemparan lembing atau sebidikan 
    panah. "Argo Bapak bahkan mungkin tidak sempat bergerak dari angka awal lima ribu 
    perak, dong?"

"Yah, waktu itu sedang macet sih. Sempat nyampai enam ribu rupiah."
Saya mengangguk-angguk. Saya berandai-andai. Lima belas persen dari enam ribu tak lebih dari seribu rupiah. Itu yang dia dapat untuk mengantar penumpang sedekat itu, buah dari mengantri di pool mungkin setengah hari.
"Belum lagi ketika kembali ke pool, ternyata sudah penuh," katanya menerawang. "Harus berputar dulu tiga-empat kali untuk dapat antrian lagi."
"Wah, susah juga, ya Pak?" timpal saya. Sudah dapat yang sangat dekat, kembali ke pool antri di paling belakang lagi. Itu pun setelah muter lebih dulu.
"Ya. Bahkan saya pernah, sudah mengantri di belakang, diserobot teman lagi," katanya enteng, bahkan cenderung riang. "Saya sih pasrah saja. Tidak lama, teman saya mendapat penumpang dengan tujuan Patra Jasa. Sebentar kemudian, seorang penumpang mengetok pintu mobil saya. Cikarang, Pak? Tentu saja saya ambil karena jaraknya jauh, berlipat-lipat dibandingkan Patra Jasa."
Saya ikut tersenyum mendengar ceritanya. "Itu semua buah dari keikhlasan, Pak."
"Alhamdulillah, saya nggak pernah menolak penumpang sedekat apapun tujuan mereka. Saya yakin, Allah memberikan rezeki saya dengan cara yang demikian. Kadang sedikit, kadang banyak. Saya tidak pilih-pilih."
Demikianlah Pak Endang, begitu namanya terpampang di dashboard, menyimpulkan. Sebuah kesimpulan sederhana yang tidak sesederhana maknanya.


Saya banyak belajar dari kedua orang itu, Pak Firmansyah dan Pak Endang; sopir-sopir taksi yang sederhana. Mereka masih "menghargai Tuhan", begitu bahasa mereka. Caranya sungguh sangat sederhana: mengantarkan penumpang yang naik taksi mereka, meski dekat sekalipun jaraknya. Menolak penumpang, sama saja dengan menolak rezeki yang sudah Allah hidangkan di hadapan. Menolak penumpang, sama halnya tidak menghargai Sang Pembagi Rezeki. Karenanya, tidak ada yang sepatutnya harus dilakukan, bagi mereka, kecuali ikhlas mengantar.
Terbukti dalam berbagai kesempatan mengantar penumpang yang dekat itu, ternyata sambung-menyambung dengan penumpang yang turun naik; begitu satu penumpang turun, ada yang langsung naik. Bahkan tak jarang, banyak penumpang jarak dekat yang memberikan "uang lebih" berkat kesediaan mereka mengantar tanpa mengeluh. Jumlahnya sering lebih banyak ketimbang persentase yang mereka terima dari mengantar penumpang jarak jauh. Jarak dekat, karenanya tidak lantas identik dengan rezeki cekak.
Sungguh sebuah sikap hidup yang, kata orang Jawa, sumarah. Pasrah, tetapi bukan layaknya wayang. Dalam bahasa agama, barangkali inilah pengejawantahan sikap tawakal setelah berazam. Bukan sikap pasrah yang salah-kaprah; yang sering salah dipahami sebagai "pulung sugih pulung mlarat". Kalau Tuhan menakdirkan kita kaya, tanpa berusaha pun, kita akan kaya. Kalau ditakdir miskin, bekerja keras peras-keringat-banting-tulang sekalipun ibaratnya, tetap akan miskin.

Saya lantas teringat dengan sebuah hadits, bahwa Allah itu tergantung pada persangkaaan (dzon) hamba pada-Nya. Kedua lelaki di atas, dalam pandangan saya, telah memberikan persangkaan yang baik pada rencana Tuhan di balik penumpang yang dekat itu. Ketika sopir yang lain menyangka "rugi" ketika harus mengantar penumpang yang dekat, keduanya tidak pernah berprasangka demikian.
Boleh jadi keduanya tidak hapal dengan ayat Al-Qur'an tentang rezeki yang min haitsu laa yahtasib. Tetapi saya yakin, keduanya, juga kita, paham bahwa rezeki itu datangnya bisa tidak disangka-sangka. Tetapi sementara kedua sopir di atas sudah mempraktekkan pemahaman itu di kehidupan keseharian, kita sendiri barangkali masih berkutat pada tataran teori.
Jika Nabi Musa pernah belajar kepada Khidir, kita yang bukan siapa-siapa ini tak ada salahnya belajar pada orang-orang sederhana seperti kedua sopir taksi di atas. Benar juga sebuah tulisan yang say a baca terpampang di sebuah Sekolah Merdeka di tepi Ranu Klakah Lumajang, dan selalu terpatri dalam ingatan saya hingga kini: jika semua tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru. Dan Pak Firmansyah serta Pak Endang, adalah guru saya hari ini.
Wa Allahu a'lamu bi ash-shawab.
Bahtiar HS, Ketua FLP Jatim 2004-2006 bahtiarhs.multiply.com

Lanjutkan Membaca..

Mengendalikan Cinta dengan Jihad

Oleh Vita Sarasi
Pernahkah Anda merasa bahwa apa yang sedang Anda lakukan itu salah tapi masih juga dilakukan? Pendeknya, sudah tahu keliru tapi terus saja maju.
Itulah yang dialami seorang teman saya. Orangnya cerdas dan kini dia mendapat beasiswa untuk belajar di sebuah perguruan tinggi pendidikan agama terkenal di luar negeri. Kepiawaiannya sangat diakui rekan dan para dosennya. Bahkan karya tulisnya mengenai agama menghiasi majalah dan surat kabar. Namun dia mengeluh kepada saya, bahwa saat ini dia tak bisa konsentrasi belajar karena memikirkan hubungan cinta jarak jauhnya. Ya, dia tengah menjalin cinta dengan seseorang yang sedang studi juga di negara lain sejak beberapa bulan ini. Benang-benang asmara terajut lewat email, chatting, dan SMS, nyaris setiap hari. Ada saja hal-hal yang saling dicurhatkan dan dilaporkan. Masya Allah!
Namun, konflik batin terus menggelayuti hati dan pikiran teman saya itu. Betapa tidak, dia tahu bahwa semua itu mengganggu konsentrasi belajarnya, apalagi saat ini dia sedang mempersiapkan ujian akhirnya. Terbayang jika gagal, maka orang tua yang siang malam mendoakannya pasti akan kecewa. Lebih-lebih lagi, dia juga paham bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah dosa yang bisa dikategorikan sebagai zina hati. Dia juga mengerti bahwa itu semua bisa terjadi karena godaan syaithan la’natullah, yang makin menggila kala imannya sedang lemah. Namun apa daya, dia merasa tidak sanggup melawan arus deras godaan cinta itu. Dia merasa terus terhanyut oleh buaian syaithan yang kali ini seakan berwajah manis. Bayangan sang kekasih sungguh sulit untuk dihapuskan. Pikirannya yang cerdas dan pengetahuan yang luas mengenai syariat Islam seakan berubah menjadi tumpul kala digunakan untuk mengatasi konflik batin ini.

Alhamdulillah, suatu saat dia mendatangi majelis taklim dan mendengar lantunan firman Allah SWT: “Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Fathir: 6). Suara hafidz yang tartil itu sungguh merasuk dalam qalbunya dan menjadi media penghantar Nur Hidayah-Nya.
“Jihad...!!!” teriaknya tanpa sadar.
Benar sekali, jihadun nafs (jihad melawan hawa nafsu diri-sendiri) dan jihadusy syaithan (jihad melawan syaithan). Dua istilah yang intinya satu yakni jihad ini menggetarkan hati dan pikirannya. Teringat tausyiah salah seorang gurunya: “Kata Al-Jihad di-kasrah huruf jim secara bahasa bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan. Sedangkan secara syar’i bermakna mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi musuh, khususnya orang-orang kafir.”
Kuncinya adalah “Mengerahkan segala kemampuan, baik materi atau bahkan nyawa kita, untuk membela agama Allah dan melawan musuh Allah dan Rasul-Nya”. Jadi, jika usaha kita biasa-biasa saja atau sambil lalu belumlah dikatakan sebagai jihad.
Menurut Ibnul Qayyim ra., jihadun nafs adalah jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah. Sedangkan jihadusy syaithan ada dua tingkatan, pertama berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan syaithan pada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman. Orang yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Kedua, berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan syahwat. Orang yang mampu melakukannya akan membuahkan kesabaran. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk, keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.
Dua jenis jihad inilah yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebelum jihadul kuffar (jihad melawan orang kafir yang menyerang aqidah Islam) dan jihadul munafiqin (jihad melawan orang munafiq yang yang menyerang aqidah Islam).

“Jadi... tunggu apa lagi”, pikir teman saya itu, “Musuh sudah jelas walaupun tidak tampak, yaitu syaithan. Jalan sudah ada, yaitu jihad. Saya akan mulai dengan berniat lilLaahi Ta’ala, sebab amal perbuatan akan sia-sia di mata Allah jika tidak dilandasi dengan niat yang benar, Innamal a’malu bin niyyaat”. Beberapa program jihadun nafs dan jihadusy syaithan dia canangkan dan dia jalankan dengan penuh kesungguhan dan keyakinan. Genderang perang melawan hawa nafsu dan syaithan ditabuhnya dengan menggelegar. Hatinya ikhlas, jika memang sang kekasihnya itu adalah jodohnya, Insya Allah akan dipertemukan dengannya dalam pernikahan yang syar’i.
Untuk mewujudkannya, tidak perlu komunikasi hotline 24 jam sehari dengan sang kekasih seperti yang sudah-sudah. Yang penting, amanah belajar harus dituntaskan dulu. Namun dalam masa belajar ini, adalah rugi di mata Allah jika hanya mempelajari pengetahuan duniawi tanpa mendasarinya dengan pengetahuan ukhrawi. Oleh sebab itu, jika suatu saat dia akan mengajak kekasihnya untuk menikah maka diniatkan sebagai ajakan untuk beribadah.
Jika godaan nafsu datang, dia hadapi dengan memperbanyak puasa, istighfar, dan zikir. Untuk meneguhkan hati dan fisiknya, dia perbanyak tilawatil Qur’an dan Qiyamul Lail. Jika ada perkara meragukan, apakah tergolong kebaikan atau justru keburukan, dia ingat sabda Rasulullah SAW: “Kebaikan itu adalah akhlaq yang baik. Dan dosa adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan engkau tidak suka dilihat orang lain dalam melakukan hal itu.” (HR Muslim).
Teman saya itu senyum-senyum kecut jika ingat apa saja yang pernah dia lakukan selama ini. Kebodohan atau kekurang pengetahuannya memang berbuah kejahilan; menjahili apa-apa yang menjadi ketentuan Allah SWT, yaitu: apa yang disuruh-Nya dilalaikan, apa yang dilarang-Nya justru dijalankan sebaik-baiknya. Astaghfirullah...
Kini teman saya sangat bahagia karena merasa tidak dibiarkan oleh Allah SWT bergelimang dalam kesesatan dan maksiat. Ia merasa sangat bersyukur karena telah mendapat taufiq dan hidayah-Nya dalam mengendalikan cintanya dengan jihad.

Frankfurt am Main, 11 Januari 2006 Vita Sarasi
vitasarasi at yahoo.com

Lanjutkan Membaca..

Pejabat Yang Sederhana

Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa'

Kini, di manakah Presiden baru Iran tinggal? Tetap di rumahnya yang jelek (dinding luarnya masih bata, belum ditembok) di kawasan Tehran timur. Petugas keamanan terpaksa membuat posko keamanan di ujung jalan, mendata semua tetangga termasuk sanak famili mereka, sehingga orang-orang yang keluar masuk jalan kecil itu bisa dimonitor. Terakhir, mau tahu apa isi press release pertama Presiden Iran yang baru terpilih itu? Isinya: Semua pihak dihimbau untuk tidak memasang iklan ucapan selamat di koran-koran dan semua kantor dilarang memasang foto presiden!
Itulah sepenggal cerita yang saya baca di sebuah milis, kiriman seorang warga Indonesia yang tinggal di Iran, tentang kesederhanaan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Membaca milis itu, saya jadi teringat dengan kisah-kisah kesederhanaan para pemimpin Islam di masa lalu. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib misalnya, saat beliau memegang tampuk pemerintahan kaum Muslimin di Kufah, kaum Muslim hidup berkecukupan karena pajak dan harta rampasan dari negara-negara yang berhasil ditaklukan melimpah ke negerinya. Umat Islam tidak kekurangan makanan dan berpakaian serba indah. Namun sang pemimpin Ali bin Abi Thalib tetap mengenakan pakaian tua yang sudah lusuh dan penuh tambalan.

Ketika ditanya mengapa beliau berpakaian seperti itu, Ali bin Abi Thalib menjawab,"Dengan pakaian seperti ini hati merasa takut dan pikiran merasa sederhana. Sesungguhnya, dunia ini dan akhirat nanti saling bermusuhan dan arah jalannya berbeda. Barang siapa mencintai dunia, akan membenci akhirat dan menjadi musuhnya. Keadaan ini ibarat Timur dan Barat. Apabila seseorang berjalan mendekati yang satu, maka ia akan menjauh dari yang lainnya..." Perkataan Amirul Mukminin ini mengisyaratkan, bahwa beliau sangat berhati-hati menggunakan harta negara. Meski sebagai pemimpin bisa saja beliau membelanjakan harta negara itu untuk keperluan dirinya, namun kesederhanaan hidup beliau mencegahnya melakukan hal itu.
Mengingat kisah-kisah semacam ini, membuat saya tersenyum getir. Bukan karena saya kasihan sama Ahmadinejad yang tembok rumahnya saja belum diplester bahkan sepatunya saja sudah agak 'bulukan'. Tapi karena saya teringat dengan kiprah para pejabat di negara saya sendiri yang malah jadi kaya begitu memegang jabatan. Jabatan bukan lagi dianggap sebagai amanah rakyat tapi dijadikan alat untuk menguras harta negara bahkan harta yang seharusnya menjadi hak rakyat. Saya tidak yakin, kalau pada saat ini ada pejabat negara di negeri ini yang rumahnya belum diplester seperti rumah Ahmadinejad, ada pejabat negara yang masih mau mengenakan sepatu yang sudah 'kusam' seperti sepatunya Ahmadinejad, ada pejabat negara yang masih mau berpakaian sesederhana Ali bin Abi Thalib.
Yang sering kita lihat justru para pejabat yang meributkan kenaikan tunjangan jabatan, kenaikan gaji, saat pemerintah baru saja menaikkan BBM yang membuat rakyat miskin menjerit. Saya kadang berfikir, tidak punya rasa empatikah pejabat negara ini atas penderitaan rakyatnya? Tidakkah mereka membaca koran yang setiap hari memuat berita anak-anak yang menderita gizi buruk, busung lapar, bahkan anak-anak yang bunuh diri karena malu hanya karena tidak mampu beli seragam pramuka dan tidak mampu membayar uang sekolah? Saya cuma bisa mengelus dada tiap kali membaca atau menyaksikan berita-berita semacam itu di media massa. Sedemikian parahnyakah kemiskinan yang menimpa bangsa saya? Sementara para pejabatnya begitu mudahnya mendapatkan uang negara dengan dalih studi banding ke luar negeri, uang tunjangan jabatan, kenaikan gaji dan sebagainya....

Menyedihkan memang. Tugas menjadi pejabat negara memang berat tapi haruskah dihargai dalam bentuk materi yang berlebihan? Bukankah seorang pengemban amanah rakyat justru harus rela berkorban dan memilih sensitifitas yang lebih tinggi atas kesulitan masyarakat di sekitarnya? Rasanya akan terlalu panjang pertanyaan yang akan dilontarkan jika kita melihat ketimpangan semacam ini. Namun, bisa jadi semua itu karena sebagian pejabat kita enggan untuk hidup sederhana dan kurang bisa merasakan kesulitan rakyat. Kelebihan harta sudah mengubah gaya hidup dan membuat mereka lupa akan idealisme serta cita-cita mulia sebagai pengayom rakyat. Melihat kondisi semacam ini, benarlah apa sabda Baginda Nabi Muhammad Saw, "Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan atas kalian sepeninggalku nanti ialah terbuka lebarnya kemewahan dan keindahan dunia ini padamu." (HR Bukhari dan Muslim)
Ya, kemewahan dan gemerlapnya dunia kadang membuat manusia lupa bahwa masih banyak orang yang hidupnya termarjinalkan karena kesulitan ekonomi yang melilit. Padahal Allah swt dalam surat At-Takasur mengingatkan bahwa "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur," dan di akhir surat itu Allah Swt berfirman,"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)."
Dalam suratnya yang lain, Allah mengingatkan..".. Makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS 7: 31)

Islam selalu menganjurkan umatnya untuk hidup sederhana. Karena kesederhanaan bisa menghapus jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Alangkah indahnya, jika para pejabat kita juga mau memberi contoh untuk hidup sederhana, apalagi mereka digaji dari uang rakyat. Dalam konteks sekarang ini, mungkin mereka bisa mencontoh kesederhanaan Ahmadinejad, Presiden Iran itu. Wallahualam.


(rubina_zalfa@yahoo.com)

Lanjutkan Membaca..

Perempuan-perempuan Tangguh

Oleh Adi Junjunan Mustafa

Kebanyakan kita tidak hidup di suasana perang, seperti pada generasi kakek-nenek kita yang melalui masa-masa perang kemerdekaan, seperti masa-masa perjuangan di Afghanistan, seperti suasana di Palestina hingga saat ini, dan seperti suasana di masa Rasulullah saw dan para sahabatnya hidup.
Dalam satu buku sirah yang memenangkan satu lomba penulisan Sirah Nabi Muhammad saw yang diadakan Rabithah 'Alam Islamiy, dipaparkan bahwa dalam kurang lebih 10 tahun masa kehidupan Nabi di Madinah, tidak kurang terjadi 83 kali peperangan dan ekspedisi pasukan. Artinya setiap tahun rata-rata terjadi delapan kali peperangan atau ekspedisi atau setiap satu setengah bulan sekali.
Bayangkan bagaimana kekuatan jiwa para shahabiyyah dalam menghadapi suasana seperti itu. Setiap kali melepaskan suami atau anak laki-laki mereka, para istri dan para ibu itu siap untuk menerima kepergian orang yang dicintainya untuk selamanya. Setidaknya begitulah kesiapan yang mereka miliki dalam dimensi kehidupan dunia. Begitu jiwa-jiwa para perempuan Palestina begitu teguh melepaskan suami dan anak-anak mereka berjuang merebut kemerdekaan negerinya.

Allah swt. telah melebihkan mereka dengan momentum waktu yang membuat jiwa mereka teguh. Cita-cita mendapatkan suami atau anak-anak yang pejuang dan menjadi syuhada, pahlawan yang gugur di jalan Allah adalah cita-cita yang nyata bagi mereka. Cinta mereka kepada suami dan anak-anak tidaklah dibatasi pada sentuhan fisik semata. Mereka telah melambungkan cintanya ke kehidupan yang lain, yang kekal abadi. Mereka telah membingkai cintanya dalam fikrah yang tinggi, ideologi yang menghantarkannya pada puncak kemanusiaan.
Fikrah yang diserap dari taujih Rabbani, pengajaran dan pengarahan dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana Pada medan perjuangan bangsa Afghan saat mengusir agresor Rusia, seorang istri pejuang pernah ditanya wartawan, "Apakah Ibu tidak takut, jika suami Ibu meninggal. Bagaimana Ibu akan hidup dan menghidupi anak-anak kelak?" Si Ibu hanya tersenyum. Tapi dari sorot matanya terpancar keyakinan yang dalam. Ia menjawab, "Suami saya hanyalah seorang pemakan rizki dan bukan Pemberi Rizki!"

Dalam buku "Ghirah", Buya Hamka pernah berkisah. Salah satu perkampungan di Tanah Minang diserbu Belanda. Pasukan mendapatkan seorang perempuan sedang menumbuk padi di depan sebuah rumah gadang. Seorang tentara Belanda menghardiknya dan menanyakan apakah di rumah ada orang laki-laki. Dengan tegas si perempuan menjawab,"Tidak ada!" Toh pasukan memeriksa rumah itu dan ternyata didapati ada seorang lelaki bersembunyi di dalam rumah. Perempuan itu pun dihardik lagi oleh tentara Belanda, "Kamu sudah berdusta ya... Tadi kamu bilang tidak ada orang laki-laki, ternyata ada!" Perempuan itu tidak menunjukkan wajah gentar sedikitpun. Dia malah menjawab lantang, "Yang kalian temukan itu bukan lelaki, sebab para lelaki adalah mereka yang berjuang di hutan-hutan. Bukan pengecut yang bersembunyi di rumah!"

Bapak saya bercerita, bagaimana kondisi desanya di Kuningan sana saat dikabari akan ada serangan dari Belanda [entah berapa kali Bapak menceritakan kisah ini]. Suara letusan dan desing peluru mulai terdengar, pertanda tengah terjadi pertarungan seru antara para pejuang melawan penjajah Belanda tidak jauh dari desa. Tapi kekuatan pasukan pejuang tak mampu menahan serbuan, hingga beberapa utusan pejuang datang ke desa dan memerintahkan para perempuan dan anak-anak untuk meninggalkan desa. Saat itu terlihat bagaimana Enin [panggilan saya untuk nenek yang tak pernah saya jumpai, karena wafat saat Bapak masih remaja] begitu tenang dan teguh mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil untuk pergi mengungsi. Bapak saya adalah anak terbesar. Usianya baru sekitar 13-14 tahunan. Ia mesti membantu Enin dengan sekuat tenaga. Di mana Engki, kakek saya? Saat itu ia tak ada di tengah keluarga, karena tengah bergerilya di hutan-hutan. Enin telah berusaha mempersiapkan segalanya. Tak ada waktu santai. Semua persiapan mesti dilakukan serba cepat. Serempak bersama anak-anaknya, termasuk Bapak saya, Enin berjalan dan berlari meninggalkan desa. Ketika telah beberapa kilometer meninggalkan desa, Enin tiba-tiba berteriak, "AstagfirulLaah... Ujang, si Otong tertinggal!" Bapak saya, si Ujang yang dipanggil Enin, segera diperintahkan Enin untuk kembali ke desa, mengambil si Otong, yang tak lain adik bungsunya. Paman saya Harits alias si Otong, alhamdulilLah, bisa temukan dan diselamatkan. Meskipun Bapak menceritakan dengan sedih, bahwa seorang bapak di kampung yang menemaninya saat hendak keluar desa lagi, di tengah jalan tertembak peluru Belanda yang meninggal. Bapak melihat langsung kejadian ini.
Saya tidak bisa membayangkan betapa teguhnya perempuan-perempuan segenerasi Enin. Dalam kondisi berat ditinggal suaminya yang lebih banyak bergerilya, ia tak pernah terlihat mengeluh kepada Engki. Gambaran khidmat-nya pada suami digambarkan Bapak saya dalam kalimat, "Engki itu tak pernah makan ikan, kecuali duri-durinya sudah Enin pisahkan..."

Saya membayangkan, jika perempuan-perempuan teguh seperti para shahabiyyah, seperti isteri para pejuang di Palestina atau Afghanistan, seperti perempuan penumbuk padi di Tanah Minang, seperti generasi Enin hadir di masa ini, maka mereka akan menjadi penyejuk dan penyemangat para suami yang tengah berjuang.
Medan perjuangan saat ini memang bukan di tengah desingan peluru. Ada desingan-desingan lain yang tak kalah dashyatnya, yaitu desingan peluru yang meluluhlantahkan moralitas. Peluru dusta dan peluru penghianatan kepada kebenaran dan kepada orang banyak. Peluru yang membuat orang rakus dan lupa kepada mereka yang papa. Tantangan yang dihadapi saat ini, bukanlah medan perang gerilya di hutan-hutan. Medan perjuangan saat ini ada di dunia birokrasi, ada di dunia bisnis dan ada di tengah-tengah masyarakat. Atau bahkan medan perjuangan itu ada dalam diri sendiri; Melawan segala nafsu jahat yang setiap saat terus dihasut syaitan. Pada medan juang yang berbeda ini tetap dibutuhkan perempuan-perempuan teguh. Mereka pandai memaknai medan juang kontemporer, sehingga jiwanya disiapkan untuk berjuang. Mereka tak akan rela suaminya hanya menjadi pecundang peradaban materialisme. Mereka akan dukung perjuangan suaminya, meskipun kehidupan yang dihadapi menjadi berat. Mereka akan besarkan anak-anaknya untuk menghadapi tantangan zaman. Mereka harus cerdas, sekaligus sabar dan memiliki jiwa kasih sayang yang besar. ***

Dipersembahkan secara khusus untuk para istri yang mesti terpisah jauh dari suami mereka yang tengah merantau untuk satu misi mulia, bersabarlah. Semoga Allah mencatat kondisi ini sebagai kondisi perjuangan.
Chiba, 18 Januari 2006 Adi J. Mustafa, Anggota FLP-Jepang E-mail: adijm2001 at yahoo dot com

Lanjutkan Membaca..

Bukan Salah Awang

Oleh Bayu Gawtama

Anwar namanya, tapi teman-temannya biasa memanggilnya Awang. Mendung adalah senyumnya, hujanlah yang dinantinya setiap hari. Bila langit bersinar, justru wajahnya murung. "Allah, turunkan hujan dong," harapnya. Awang bukan sedang sholat meminta hujan, apalagi pawang hujan. Bocah kurus berusia 9 tahun itu kerap menanti hujan karena baginya, hujan berarti rezeki. Rezeki yang sesungguhnya, sebab sekurangnya 20 ribu rupiah bisa dibawa pulang untuk membantu ibu belanja sehari-hari.
Sore menjelang maghrib itu, Awang terlihat murung. Hujan turun sangat sebentar, hanya cukup membasahi jalanan kota yang berdebu dan lumayan bikin kotor pajalan kaki yang bersandal jepit. Ia pun belum sempat menggigil seperti hari-hari sebelumnya setelah beberapa jam menawarkan jasa payung kepada pejalan kaki yang membutuhkannya. Ya, Awang memang pengojek payung. Kegemarannya setiap hari adalah menatap langit. Mendung adalah senyumnya, terik matahari akan membuatnya murung.
Awang tidak sendirian. Belasan anak di sekitar Pasar Ciputat punya hobi yang sama; menatap langit dan kalau perlu ribuan kali meminta kepada Sang Pemilik hujan agar hari itu hujan diturunkan. “Kalau perlu hujan jangan berhenti seharian, biar uang yang Awang dapat lebih banyak. Pasti ibu senang,” ujar Awang polos.
Anak sekecil itu bahkan tahu waktu-waktunya hujan turun, termasuk di bulan apa biasanya curah hujan lebih besar dan lebih lama. Desember dan Januari adalah bulan panen baginya. Maka tak heran, jauh-jauh hari ia sudah meminta dibelikan payung oleh ibunya. Karena tahu yang diminta Awang akan berbuah rezeki, sang ibu pun tak keberatan merogok kocek lebih dalam untuk membeli payung.

Lain Awang lain masyarakat kebanyakan di ibukota dan berbagai daerah rawan bencana lainnya di Indonesia. Mereka berharap hujan jangan turun, kalau pun turun hanya sekelebatan saja, sekadar membasahi jalan. Atau gerimis saja boleh lah. Maklum, hujan berkepanjangan sama dengan bencana. Hujan semalaman tak berhenti, bikin jantung para pejabat setempat berdegub keras lantaran daerahnya akan tergenang air. Hujan deras terus menerus membuat masyarakat panik, sebab tahun lalu hujan yang sama telah pernah menghabiskan harta benda, ternak, ladang, bahkan menelan korban jiwa. Dan ketika hujan turun, doa mereka pun sama, “Ya Allah, jangan biarkan bencana menimpa kami lagi”.
Sesungguhnya hujan itu rezeki Allah. Tidak hanya bagi pengojek payung seperti Awang dan teman-temannya. Rezeki juga bagi para petani yang membutuhkan cukup air untuk mengairi sawah dan ladangnya. Di masa lalu, tak satu pun orang takut akan datangnya hujan, bahkan ketika hujan tak datang pun ramai masyarakat melakukan sholat untuk meminta hujan. Di masa silam, anak-anak kecil bermain riang saat hujan turun, dan tak sedikit pun orang tua ketakutan anaknya akan terseret banjir. Paling mungkin sekadar flu, itu pun masih bisa di atasi.

Saat ini, hujan berarti bencana. Tak lagi rezeki. Hujan turun terus menerus, harta benda berharga pun siap dikemas. Anak-anak tak diizinkan jauh dari orang tua, khawatir banjir datang tiba-tiba dan menyeret serta mereka. Tak cuma hujan, langit hitam di langit bisa jadi pertanda bahaya, was-was dan kepanikan berlebihan muncul di benak warga. Maklum, kehilangan harta benda dan anggota keluarga di musim banjir tahun lalu belum terlupakan. Kini, bencana yang sama siap mengepung mereka, seolah bencana tak ada habisnya.
Bagi Awang, hujan adalah rezeki. Jangan salahkan Awang yang terus berdoa agar Allah menurunkan hujan. Karena di masa lalu pun hujan deras tak pernah ditakuti, hujan seharian tak menimbulkan kepanikan. Jika saat ini hujan justru berakibat bencana, jelas harus ada yang bertanggungjawab. Dan yang pasti bukan Awang.


Bocah berbadan kurus itu tersenyum lebar. Hujan lebat turun kembali, payungnya pun mengembang sudah. Kaki kecilnya mengibas jalan berair dan siap mengais rezeki. Yang pasti, ia begitu sumringah, tak peduli banyak orang selainnya yang ketakutan.

Lanjutkan Membaca..

Cinta Putih

Oleh Bayu Gawtama

“Ini siapa yang makan kue tidak dihabiskan?” tanya saya kepada isteri malam itu. Di meja makan, terdapat sepotong kue yang tak habis termakan. "Itu potongan untuk Abang. Anak-anak dapat kue dari tetangga siang tadi, tapi mereka ingin membaginya untuk, Abi," jelas isteri saya. "Ini Hufha, ini buat dede Iqna, ini Ummi, dan ini buat Abi," begitu katanya setelah memotong empat bagian kue itu. Anak-anak sudah tidur, semoga dalam mimpinya mereka melihat saya menikmati kue yang sengaja disisakannya. Saya selalu ingat setiap kali anak-anak mendapatkan kue atau makanan enak lainnya, mereka tak lupa menelepon saya di kantor untuk sekadar memberitahu kalau saya tak perlu khawatir, karena mereka akan menyisihkannya untuk saya.
Pagi hari, pertanyaan pertama anak-anak adalah, "Kuenya dimakan nggak, bi?"


Saya pernah diprotes isteri karena pulang terlambat. Padahal sebelumnya saya sudah berjanji untuk mengajak mereka jalan-jalan ke mall. Setiap akhir bulan, anak-anak sudah hafal betul jadwal belanja bulanan kami. Meski masih terlalu kecil, mudah bagi mereka menandakan waktunya belanja bulanan. Jika persediaan susu mereka sudah menipis, itulah waktunya belanja. Saya menjanjikan akhir pekan ini akan mengajak mereka berbelanja, itu yang membuat mereka rela menahan kantuk tidak tidur siang karena takut ditinggal. Walaupun waktu belanja kami biasanya sesudah maghrib, sejak jam 16.00 anak-anak itu sudah cantik dengan baju pilihan mereka sendiri. Tapi, hari itu saya membuatnya kecewa. Pukul 21.15 malam saya baru tiba di rumah dan mendapati kedua anak saya terlelap di sofa masih lengkap dengan baju bagus, sepatu dan jilbab yang tak lepas.
Pagi hari, mereka tak marah. "Hari ini kerja nggak? Pulangnya jangan malam-malam ya, kan sudah janji mau ke Mall," Saya tak berani berjanji, tapi saya akan menepatinya. Sungguh.


"Mi, nanti kalau abi pulang bangunin ya," pesan anak pertama saya yang ingin membanggakan lima bintang yang diterimanya hari ini untuk pelajaran melukis di sekolah. Cerita isteri saya, sejak pulang sekolah kertas hasil lukisannya itu selalu dibawa-bawa dan tak boleh disentuh siapapun. Tak satu pun yang boleh melihatnya sebelum saya melihatnya dan mengatakan, "Duuh pinternya cantik abi." Setelah mandi sore, tercatat sebelas kali ia bertanya jam berapa saya pulang. Selepas Maghrib, entah untuk keberapa kali ia bertanya, "Abi kok belum pulang sih?" tentu saja dengan kertas lukisan masih di tangannya. Ia pun berjaga-jaga di sofa menunggu kepulangan saya, agar apa yang saya dapatkan begitu membuka pintu adalah wajah cerianya sambil menunjukkan lima bintang di kertas lukisannya.
Yang dinanti tak kunjung tiba. Kantuk pun tak kuasa ditahannya, lima bintang pun ikut terlelap dalam dekapannya. Hari masih terlalu dini, ia sudah bangun membawa kertas lukisannya ke kamar saya. Matanya masih terlihat mengantuk ketika ia menggugah saya, "Bi, sudah lihat gambar Hufha? Dapat bintang lima nih."


Pekerjaan saya saat ini banyak menyita waktu yang semestinya merupakan waktu untuk keluarga. Tak jarang mereka protes dengan kalimat, "Kerja melulu, kapan liburnya?" Ya, saya sering merasa bersalah setiap harus pergi untuk urusan pekerjaan di hari libur. Terlebih ketika harus membatalkan acara yang sudah direncanakan jauh hari. Cara mereka mengingatkan saya akan teramat banyak hutang kehadiran saya untuk mereka cukup unik, yakni dengan menyebut jumlah dongeng yang belum saya lakukan. Kalau saya pergi tiga hari, maka di malam saya menemani tidurnya, mereka akan minta saya merapel cerita jadi empat. Satu jatah malam ini, tiga cerita adalah untuk hari yang terlewati tanpa dongeng.
Kalau pun saya terlalu lelah untuk empat dongeng malam itu, mereka pun tak marah. Hanya saja, "Tapi besok jadi lima, ya."


Hari Minggu kemarin, saya baru pulang ke rumah pukul 20.30 malam. Siang harinya saya berjanji untuk pulang sore dan mengajak mereka beRp-putar dengan motor. Senja hampir tiba, mereka masih yakin saya akan segera pulang. Karenanya mereka menunggu saya sambil bersembunyi. Rupanya, mereka berniat mengejutkan saya dari balik pintu. Malam sudah tiba, anak-anak masih di balik pintu, kali ini mereka tak berdiri, tapi sudah duduk. Mungkin lelah menunggu. Waktu terus berjalan, sampai mereka pun terlelap di balik pintu, tak peduli kata-kata umminya bahwa saya akan terlambat pulang. "Nggak, Abi bilang sebentar kok perginya," ujar si kecil.


Terlalu sering saya membuat anak-anak kecewa. Namun tak pernah saya mendapatkan wajah cemberut mereka meski saya tak tahu lagi dengan cara apa mengucap maaf. Tanpa meminta maaf pun, ternyata mereka sudah lebih dulu memaafkan. Mestinya saya belajar mencinta seperti mereka, dan cinta punya mereka adalah cinta yang putih. Seputih hatinya.
Cinta Putihdf

gawtama.blogspot.com

Lanjutkan Membaca..

Pejuang di Negeri Seberang

Oleh Sus Woyo

Perempuan itu bernama Karmiah. Setiap adzan subuh berkumandang di masjid, ia harus cepat-cepat bangun. Ia memang harus bangun lebih awal ketimbang majikannya dan seisi rumah yang lain. Ia juga harus tidur lebih ahir ketimbang lainnya. Dan ia tidak akan masuk ke kamar peraduan sebelum majikannya tidur terlebih dahulu. Itulah nasib dia, sebagai seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga di luar negri.
Ia sudah lama mengunci mulutnya. Alias tidak banyak berbicara kecuali yang penting-penting saja. Ia juga dilarang untuk bicara dengan sesama PRT tetangga sebelah. Perempuan itu menurut saja. Sebab ia tidak punya hak untuk melawan walau hanya sepatah katapun. Apa yang dikatakan majikan, harus ia turuti.
Pagi hari ia jarang makan nasi, seperti kebiasaannya di kampung. Ia hanya minum dan makan roti. Hari-hari ia lalui dengan banyak kerja. Sedikit sekali waktu istirahat yang diberikan majikan padanya.

Sesak. Sesak sekali rasanya. Tapi apa boleh buat. Ibarat akan mengarungi lautan,
layar kapal sudah terkembang. Ia harus berani dan pantang menyerah. Dan akan terus melaju. Melaju menuju pelabuhan yang dituju. Keberhasilan!

Perempuan 40-an itu banyak bercerita pada saya. Ia mencurahkan segala isi hatinya pada saya tentang apa yang sedang ia alami. Ia yang begitu susah hidup di kampung, di negeri seberangpun ia harus bertemu dengan sosok majikan yang sangat tidak manusiawi.
Ia belum satu tahun bekerja di Brunei. Padahal masa kontraknya dua tahun. Masih butuh waktu cukup lama untuk menapaki hari-hari suramnya. Wajahnya makin sayu. Tubuhnya menampakkan ke-tidak segar-an. Hatinya luka. Kedua matanya, makin rabun. Sehingga kalau melihat tulisan seolah huruf-hurufnya berlainan. Mungkin terlalu banyak mengeluarkan air mata. Sehingga, suatu saat dia minta tolong pada saya untuk menuliskan sebuah surat untuk keluarganya di tanah air.

Tak hanya itu. Rupanya perempuan ini masih menjalani ujian berat dari Sang Maha Kasih. Kedua kakinya bengkak sudah beberapa bulan. Sudah ke rumah sakit tiga kali -dengan biaya sendiri-, tapi belum juga sembuh. Sungguh malang ibu dari empat orang anak ini. Melihat keadaan seperti itu, saya menyarankan agar pulang saja. Jangan memaksakan diri di tengah derita yang begitu mencekam. Namun perempuan ini menjawab tegas.
"Saya harus bertahan dulu di sini sebelum anak saya lepas dari sekolah, Mas. Saya tidak ingin anak saya keluar sebelum tamat hanya kekurangan biaya, kasihan. Saya sakit sekali jadi orang bodoh, jadi orang yang tidak sekolah. Saya ingin anak-anak saya tidak seperti bapak dan ibunya yang punya nasib sengsara."
Saya kaget. Luar biasa semangat perempuan ini. Saya malah justru menyesal mengeluarkan kata-kata seperti itu. Saya tidak menyangka sama sekali di balik seorang yang tampak sangat lemah tapi ada kekuatan juang yang luar biasa. Ia punya tujuan sangat mulia. Ingin mengasah empat 'mutiara' nya di kampung menjadi orang-orang yang berilmu. Walaupun ia sendiri harus tertatih-tatih, merangkak mempertahankan hidup di bawah aturan ketat sang majikan.

Rupanya ia sosok yang sangat tabah. Dalam hidupnya, ia tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Ia tak pernah menyalahkan suaminya yang hanya seorang buruh tani. Dan ia juga tak pernah peduli dengan negrinya yang sampai saat ini belum bisa memberikan apa arti sebuah kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi ia hanya ingin menempa diri agar anak keturunannya punya nasib lebih baik dari dirinya. Itu saja.
Namun, lagi-lagi ia harus terhempas. Mau tidak mau ia harus menuruti kehendak Yang Maha Kuasa. Kedua kakinya makin parah. Ahirnya ia memutuskan untuk pulang, sebelum masa kontraknya habis.
Di bandara Sukarno Hatta Jakarta, ia sudah tidak kuat lagi menahan derita sakitnya. Petugas bandara segera melarikan ke rumah sakit. Namun malaikat maut keburu menyambutnya, untuk menghadap Penguasa Alam ini. Semangat juang perempuan itu, hanya sampai di Jakarta, sebelum ia memasuki kampung halamannya di sebuah desa kecil, di bagian barat Jawa Tengah.

Mendengar berita yaang dituturkan majikan perempuan itu, saya terkejut luar biasa. Tubuh ini laksana mau terkulai. Ia bukan saudara saya. Ia bukan kerabat dekat saya. Tapi nasib di perantauan menjadikan saya, seolah ia adalah bagian dari keluarga saya. Saya hanya bisa berucap: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Sekali lagi saya membayangkan sosok dia. Seorang yang tampak lahir berfisik lemah, tapi punya daya juang, daya 'jihad' yang luar biasa. Saya jadi ingat kata-kata sahabat saya, seorang penulis, "Sosok seperti itulah yang paling layak mewarisi kehidupan ini."
Terbayang pula bagaimana sedihnya keempat anaknya ketika melihat ibunya sudah terbujur kaku. Bagaimana getirnya sang suami melihat sang istri yang sudah tak bernyawa lagi. Atau bagaimana merananya kerabat keluarganya ketika melihat perempuan itu sudah pulang ke pangkuan-Nya.

Allah, maha segalanya. Tentu Dia tidak akan membiarkan sekecil apapun usaha positif mahluknya. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat balasannya." (Az Zalzalah: 7)

Harapannya ingin punya mutiara yang cemerlang, yang 'alat gosok' nya ia cari sampai ke luar negeri, tentunya tidak akan diabaikan begitu saja oleh Yang Maha Perkasa. Tentu perjuangan perempuan itu akan jadi cermin besar bagi ke empat anaknya untuk berjuang lebih keras dan keras lagi. Walaupun saat ini mereka masih tertatih, dalam menyelesaikan pelajarannya di sekolah.

Selamat jalan Karmiah, selamat jalan pejuang di negeri seberang. Semoga Allah menempatkanmu dalam tempat yang mulia. Amin.**
Brunei, Jan 2006

Lanjutkan Membaca..

ALLAHU’AKBAR,,!!!

Syair nya Orang-Orang Kuat
Bangun dan tinggalkanlah tidur panjang …
Sungguh Islam telah kembali …
Di jalan Alloh kita telah berjalan dan mengumandangkan jihad …
Kelompok orang mukmin telah bangkit …
Dengan para pemuda yang jujur …
Dalam malam-malam nestapa mereka berjalan …
Di belakang Al Qur’an yang nyata …
Mereka tidak peduli dengan berbagai kesusahan di antara taring-taring zaman …
Bangun dan tinggalkanlah tidur panjang …
Sungguh Islam telah kembali …
Di jalan Alloh kita telah berjalan dan mengumumkan jihad …
Sampaikanlah kabar gembira kepada manusia …
Dengan subuh yang terbit dengan terang …
Wahai malam-malam para pendholim …
Wahai kehinaan orang-orang yang bermain …
Wahai kesia-siaan selama bertahun-tahun …
Telah datang janji yang nyata …
Kami telah datang kepada kalian dengan membawa senapan dan qur’an yang nyata

Lanjutkan Membaca..

Ajarilah aku wahai Syahid!

Ajarilah aku wahai Syahid
Ajarilah aku, bagaimana bisa mati Syahid
Ajari aku agar bias mati terpuji
Ajari aku, bagaimana aku harus patuh kepada Rabb-ku,
Meninggalkan dunia, nun jauh di sana
Ajari aku, bagaimana meninggalkan keluarga-ku
Dalam keadaan teguh dan sabar, seperti gunung yang kokoh
Ajari aku, bagaimana meninggalkan anak-anak ku
Dengan menunduk dan menata hidup baru
Kupasrahkan orang-orang yang ku cintai, kepada yang Maha Penyayang
Tidak ada yang menyantuni ayah ku, selain yang Maha Penyayang
Demi Rabb-mu, ajari dan katakan pada ku
Apakah kamu tidak pernah menginginkan kehidupan?
Beritahu aku kabar gembira itu, wahai kekasihku
Nikmat apa yang kau lihat pada orang yang mati Syahid?
Wajah mu adalah cahaya yang tidak menjemukkan pemandangnya,
Kata-katamu adalah kebenaran, dan telah ada buktinya
Diam mu adalah berpikir, kau tidak suka banyak bicara
Urusan mu adalah serius, dan jauh dari senda gurau
Bangunlah saudara ku, bulatkan tekad mu
Setelah itu, engkau tidak akan takut lagi!

Lanjutkan Membaca..

Ini darah kami, mana darah anda??

Di sini kami mencari kematian, kemenangan hanya di sisi ALLAH. Saat anda tertidur dalam kehangatan selimut daging-daging manusia Bosnia, dalam kesejukan atap-atap runtuh Chechnya, dalam kelembutan kehormatan wanita Afgan, dalam mimpi indah daratan Palestina, dalam buaian dongeng rakyat Irak.
Kami merayap mencari mati. Kami tidak ingin tidur. Kami takut dengan kesenangan dunia, kami takut seperti anda, kelak menjadi tamak. Tamak pada kesenangan semu, tamak pada kesombongan, tamak pada kebohongan. Kami haus darah. Darah anda, teriakan kesakitan anda, kekalahan anda, kerugian anda dan ketakutan anda; semua itu menjadi penghibur kami, penghibur kesepian kami, pengisi waktu kami.
Sebelum kami berjumpa dengan Robb kami, dengan membawa bendera kemenangan.
Kami yakin Rabb kami penuhi janji, kami yakin Al Qur`an benar adanya, kami yakin sabda Rasululloh, kami yakin Islam akan selalu berkibar dan menyebar serta menjadi yang terbenar.
Setiap tetes darah kami di sini, adalah janji syurga dan kemenangan akhirat semakin mendekat. Setiap peluh keringat kami di sini, adalah yakin membersihkan tanah Islam yang telah ternajisi tapak-tapak kaki anda. Pekikan kami adalah lagu-lagu suci, pengagung yang Teragung.
Takbeeer!!!

Lanjutkan Membaca..

Izinkan Aku Bercerita Tentangmu…!!!

Jangan pernah lelah wahai Mujahidku
Karena ku kan senantiasa dibelakangmu untuk mendukungmu
Jangan kau tengok ke belakang, lihatlah kedepan
Didepan ada musuhmu, musuh Tuhan kita
Jadikan mereka terhina dengan kekuatanmu
Janganlah ragu untuk melepaskan peluru dari selongsong senapanmu
Bidiklah tepat dijantungnya
Jadikan ia mati sia-sia, tak memberi kemenangan bagi sekutunya
Maju terus jangan pernah menyerah
Lepaskanlah duniamu
Karena sungguh dunia ini hina
Sesungguhnya disisi Tuhan kitalah sebenar-benarnya kebahagiaan
Ingatlah isteri-isteri akhiratmu menunggumu dengan penuh cinta
Mereka senantiasa mendendangkan syair kerinduan
Hanya untukmu, hanya untukmu
Disaat kau pulang dengan membawa kemenangan
Maka janganlah kau merasa puas hingga Allah memenangkan agama ini atau kau menemui syahid dimedan itu
Dua pilihan yang menguntungkan, bukan?
Siapakah yang tidak suka dengan perniagaan demikian?
Sungguh merugi bagi orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat
Bukankah kau tidak demikian?
Kau sering bercerita kepadaku tentang indahnya syurga
Dengan berbagai kenikmatan didalamnya
Dan akupun mendengarkan dengan seksama
Betapa indahnya jika kita termasuk penghuni didalamnya
Menuai keridhaan-Nya selamanya
Wahai Mujahidku…aku sering melihatmu bercucuran air mata
Dan seketika itu kau tersungkur bersujud
Memanjatkan sebuah do’a
Aku tak bisa mendengarnya karena suaramu tertahan oleh gejolak didadamu
Namun ku tau
Itu adalah gemuruh kerinduanmu padanNya
dan kau memohon untuk bisa membela saudara-saudaramu dari para Thagut kaum kuffar
mengembalikan izzah mereka
wahai Kekasihku…ku kan senantiasa berdoa untuk mu agar harapanmu terpenuhi
untuk bisa kembali ke medan pertempuran itu
sungguh aku ridha jika harus dua kali atau bahkan berulang kali ditinggal olehmu
meski kerinduanku belumlah pupus
meski sajadahku belumlah kering karena banyaknya air mata kerinduan mengharap hadirmu disisiku
meski hari-hariku kan kembali sepi oleh canda dan petuahmu
meski kau tak lagi mengimamiku shalat
meski kau tak akan menyakasikan kehadiran Mujahid kecilmu menghirup udara kehidupan
aku ridha, sungguh aku ridha
asalkan Rabb kita memperkenankan kita bersua dan berkumpul di JannahNya
untuk selamanya
Jika kita tak berjumpa kembali
Maka kan ku semai cintamu disyurga
Dalam istana takwa
senyumku mengembang jika ku membayangkannya (syurga)
namun ku tak bisa menyembunyikan rasa cemburuku pada bidadari bermata jeli
yang akan membagi kasihmu dengan ku
kecantikan mereka tiada tandingan
meski kau selalu menyanjungku tiap pagi dan malam hari
namun seperti yang kau tau aku adalah wanita pecemburu
jiaka rasa itu menyerang maka aku kan mengingat kata-katamu
“kecantikan bidadari memang tiada duanya namun wanita dunia lebih mulia dan tiada tandingannya karena mereka bersusah payah beribadah sewaktu didunia”
Dan seketika itu pula hatiku riang
Ahhh..kau selalu mengerti bagaimana caranya membuatku senang
Wahai pujaanku….tiada berita yang lebih kusukai selain berita tentang kesyahidanmu
Oleh karena itu janganlah berhenti untuk mengharap syahadah pada-Nya
Mudah-mudahan Allah melapangkan jalanmu menujuNya
Kau ingat bukan Rabb kita telah berfirman
“Barang siapa menolong agamanya maka dia akan menolongnya pula”
Yakinlah itu
Wahai kekasih hati….jangan pernah ragu untuk meninggalkanku kembali
Jangan fikirkan aku
Karena ku kan baik-baik saja
Ku kan setangguh isteri Handzalah
yang merelakan malam pengantinya
untuk memenuhi seruan-Nya
Kan kutopang hidupku tanpamu
Karena kini ku telah terbiasa
Kau yang mengajarkannya padaku, bukan?
Bukankah kita telah berkomitmen dari awal perjumpaan
dan saat ijab Kabul diucapkan
untuk mendirikan bangunan kasih kita diatas jalanNya
hingga syahid menjemput?
Kita tau perjumpaan didunia adalah sementara
Karenanya kita memohon perjumpaan yang kekal
Hingga kau dan aku tak terpisahkan lagi oleh ruang dan waktu
Allaahumma Amiin
Salam rinduku untuk mu selalu
‘Aisyah-mu

Lanjutkan Membaca..

ZIONIST ? SALIBIS ? OUT !!

Belum kering tetesan darah saudaraku yang tumpah,
karena ulah tangan kotor anda
Belum berhenti tangis adikku ditinggal ibu tercinta,
Karena keconkakan tangan najis anda
Belum habis kepulan debu rumahku terhantam hancur,
Karena buldoser laknat milik anda
Belum reda teriakan takbir ayahku mempertahankan Izzatul Islamnya,
Karena paksaan dan propaganda dusta anda
Kami berjanji……..
Tidur anda tidak akan pernah nyenyak
Makan anda tidak akan pernah nikmat
Tiap tarikan nafas anda tidak akan pernah lega
Meski ruh-ruh kami menguap ke angkasa
Semangat jihad kami senantiasa mengganda
Menjadi syaithon pengganggu ketenangan anda
Hai…anda dajjal berwajah bush….dajjal berwajah blair….
Dajjal berseragam tentara sekutu…
Kami katakan…..
Anda tidak akan pernah merasakan kemenangan,
Anda akan menelan kehinaan dunia dan keburukan akhirat
Mengekor, menjadi bayang hitam setiap waktu
Hingga ALLOHU TA`ALA menurunkan azab pada anda dan teman-teman anda!!!

Lanjutkan Membaca..

Ya Mujahid

ya mujahid ……
sungguh apabila maut berjumpa dengan engkau
akan lari pucat pasi dan mencari jalan untk kembali
sambil melarikan diri kmatian takut dengan engkau
ya mujahid……
engkau selalu mencintainya dimanapun engkau berada
tiadalah engkau berlambat lambat darinya ataupun maju mendahuluimu
maka engkau dapati celaan dalam mencintainya amatlah nikmat
terasa senang mengingtnya maka biarkan celaan mencela engkau
ya mujahid……
engkau tegak berdiri dan tak ada keraguan dalam kematian bagi orang yg tegak berdiri
seolah olah engkau berada dipelupuk sang maut yg tengah tertidur
lewat padamu para perwira yg tengah luka dan cedera sementara wajahmu tetap putih berseri;
mulutmu tetap tersungging senyum
ya mujahid……
adakah raja itu memiliki daging di atas meja hidangan
apabila pedang-pedangmu masih kehausan dah burung burung masih kelaparan
sampai aku kembali pena penaku mengatakan padaku
kemulian itu milik pedang bukan milik pena
ya mujahid……
andai aku masih diberi umur , akan kujadikan perang sebagai ibu
tombak sebagai saudara dan pedang sebagai bapak
dengan rambut kusut masai terseyum meyongsong kematian
hingga seolah-olah ia mempunyai keinginan dalam kematian nya
berjalan cepat,, cepat,,jangan sampai terlambat
hingga hampir hampir ringkikan kuda melemparku dari pelananya
lantaran gembira dan melonjak-lonjak menyongsong perang
ya mujahid……
semoga allah merihoimu semoga allah merahmatimu
hingga dalam seyummu yg indah
engkau ingin mengatakan pada kami
aku sudah menepati janjiku aku sudah menjual diriku
maka kapan giliranmu wahai saudara maka kapan giliranmu wahai saudara??

Lanjutkan Membaca..

Prince of Jihad

Aku
Apa gerangan yang dilakukan musuh pada diriku
Aku, sungguh surgaku ada di hatiku
Dan taman-taman yang indah ada di dadaku
Ia selalu terus ada tetap bersamaku
Dan selalu ikut kemana saja kepergianku
Tak seorangpun bisa merampasnya dariku
Aku, andai mereka sampai membunuhku
Maka itulah waktu khalwat bersama Tuhanku
Dan jika mereka berani membunuhku
Sungguh, itulah bentuk kesyahidan bagiku
Dan merekapun akan segera menyusul kepergianku
Dan jikalau mereka dari negeri ini mengugusurku
Maka ku anggap itulah bentuk wisataku
Aku adalah aku yang mengerti benar jalan hidupku
Aku takkan pernah peduli dengan orang yang mencelaku
Selagi Allah tetap ridha dan mencintaiku
Aku tahu bahwa thaghut tidak menyukaiku
Tapi itu tidak masalah selama aku ada di jalan Tuhanku
Dan mana mungkin syaitan menyukai ajaran Nabiku
Tauhid akan kujunjung di atas kepalaku
Dan Pancasila syirik kan ku injak dengan kakiku
Hukum ilahiy ku angkat tinggi dengan tanganku
Dan undang-undang kafir kan ku tebas dengan pedangku
Enyahlah hai hamba thaghut, kalian adalah musuh abadiku
Dan aku adalah musuhmu sepanjang hidupku
Bila kalian ragu dengan ajaran tauhidku
Dan merasa benar dengan ajaran musuh Tuhanku
Mari kita mati bersama !  kamu dan aku..

Lanjutkan Membaca..

Mujahidah dari Bumi Jihad

Aku Wanita Mujahidah Sejati…
Yang tercipta dari tulang rusuk lelaki yang berjihad..
Bilakah khan datang seorang peminang menghampiriku mengajak tuk berjihad..
Kelak ku akan pergi mendampinginya di bumi Jihad..
Aku selalu siap dengan semua syarat yang diajukannya..
cinta Allah, Rasul dan Jihad Fisabilillah
Aku rela berkelana mengembara dengannya lindungi Dienullah
Ikhlas menyebarkan dakwah ke penjuru bumi Allah
Tak mungkin ku pilih dirimu.. .bila dunia lebih kau damba…
Terlupa kampung halaman, sanak saudara bahkan harta yang terpendam..
Hidup terasing apa adanya.. asalkan di akhirat bahagia…
Bila aku setuju dan kaupun tidak meragukanku…
Bulat tekadku untuk menemanimu…
Aku Wanita mujahidah pilihan…
Yang mengalir di nadiku darah lelaki yang berjihad…
Bilakah khan datang menghampiriku seorang peminang yang penuh ketawadhu`an…
Kelak bersamanya kuarungi bahtera lautan jihad…
Andai tak siap bisa kau pilih…
Agar kelak batin, jiwa dan ragamu tak terusik,
terbebani dengan segala kemanjaanku, kegundahanku, kegelisahanku…
terlebih keluh kesahku…
Tak mungkin aku memilihmu…
bila yang fana lebih kau cinta…
Lupa akan kemilau dunia dan remangnya lampu kota…
lezatnya makanan dan lajunya makar durjana…
Sebab meninggalkan dakwah karena lebih mencintaimu…
dan menanggalkan pakaian taqwaku karena laranganmu…
Meniti jalan panjang di medan jihad…
Yang ada hanya darah dan airmata tertumpah…
serta debu yang beterbangan,
keringat luka dan kesyahidan pun terulang…
Jika masih ada ragu tertancap dihatimu…
Teguhkan `azzam`ku tuk lupa akan dirimu…
Aku wanita dari bumi Jihad…
Dengan sekeranjang semangat berangkat ke padang jihad…
Persiapkan bekal diri menanti pendamping hati, pelepas lelah serta kejenuhan…
tepiskan semua mimpi yang tak berarti…
Adakah yang siap mendamaikan Hati ??
Karena tak mungkin kulanjutkan perjalanan ini sendiri…
tanpa peneguh langkah kaki.. pendamping perjuangan…
Yang melepasku dengan selaksa do`a…
meraih syahid… tujuan utama…
Robbi… terdengar panggilanMu tuk meniti jalan ridhoMu…
Kuharapkan penolong dari hambaMu… menemani perjalanan ini.

Lanjutkan Membaca..

Mujahidah dari Bumi Jihad

Aku Wanita Mujahidah Sejati…
Yang tercipta dari tulang rusuk lelaki yang berjihad..
Bilakah khan datang seorang peminang menghampiriku mengajak tuk berjihad..
Kelak ku akan pergi mendampinginya di bumi Jihad..
Aku selalu siap dengan semua syarat yang diajukannya..
cinta Allah, Rasul dan Jihad Fisabilillah
Aku rela berkelana mengembara dengannya lindungi Dienullah
Ikhlas menyebarkan dakwah ke penjuru bumi Allah
Tak mungkin ku pilih dirimu.. .bila dunia lebih kau damba…
Terlupa kampung halaman, sanak saudara bahkan harta yang terpendam..
Hidup terasing apa adanya.. asalkan di akhirat bahagia…
Bila aku setuju dan kaupun tidak meragukanku…
Bulat tekadku untuk menemanimu…
Aku Wanita mujahidah pilihan…
Yang mengalir di nadiku darah lelaki yang berjihad…
Bilakah khan datang menghampiriku seorang peminang yang penuh ketawadhu`an…
Kelak bersamanya kuarungi bahtera lautan jihad…
Andai tak siap bisa kau pilih…
Agar kelak batin, jiwa dan ragamu tak terusik,
terbebani dengan segala kemanjaanku, kegundahanku, kegelisahanku…
terlebih keluh kesahku…
Tak mungkin aku memilihmu…
bila yang fana lebih kau cinta…
Lupa akan kemilau dunia dan remangnya lampu kota…
lezatnya makanan dan lajunya makar durjana…
Sebab meninggalkan dakwah karena lebih mencintaimu…
dan menanggalkan pakaian taqwaku karena laranganmu…
Meniti jalan panjang di medan jihad…
Yang ada hanya darah dan airmata tertumpah…
serta debu yang beterbangan,
keringat luka dan kesyahidan pun terulang…
Jika masih ada ragu tertancap dihatimu…
Teguhkan `azzam`ku tuk lupa akan dirimu…
Aku wanita dari bumi Jihad…
Dengan sekeranjang semangat berangkat ke padang jihad…
Persiapkan bekal diri menanti pendamping hati, pelepas lelah serta kejenuhan…
tepiskan semua mimpi yang tak berarti…
Adakah yang siap mendamaikan Hati ??
Karena tak mungkin kulanjutkan perjalanan ini sendiri…
tanpa peneguh langkah kaki.. pendamping perjuangan…
Yang melepasku dengan selaksa do`a…
meraih syahid… tujuan utama…
Robbi… terdengar panggilanMu tuk meniti jalan ridhoMu…
Kuharapkan penolong dari hambaMu… menemani perjalanan ini.

Lanjutkan Membaca..

HANTARKAN AKU KE SANA….

Gejolak yang membuncah memenuhi dada ini…
Bersama asa yang rindu mendalam…
Dari hamba yang berlumur dosa dan kealpaan…
Berharap dapat bersua dengan-Mu…
Wahai Rabbul`alamiin…
Dengan taubat ku berharap…
Kuatkan jiwa ini mendatanginya…
Kokohkan langkah kaki ini menempuhnya…
Azzamkan niat ini dalam mencapainya…
Ikhlaskan hati ini menjalaninya…
Aku rindu…aku rindu…aku rindu…
Rindu berjumpa dengan-Mu dalam SYAHADAH…
Rindu bersua dengan-Mu dalam IMAN…
Rindu bersama-Mu dalam TAUHID…
Rindu indahnya hidup dalam naungan ridha-Mu…
Syari`at ISLAM…Daulah ISLAM…Khilafah ISLAM
Duhai Alloh yang tiada sekutu bagi-Mu…
Hantarkanlah kerinduanku ini…
Mudahkanlah…
Lapangkanlah…
Tuk raih cita-cita…
KEMULIAAN HIDUP DALAM ISLAM, ATAU
KESYAHIDAN DALAM PERJUANGAN
Aku berharap termasuk yang Kau hantarkan….
Ridhai dan kabulkanlah…
Amien ya Alloh, ya Rabbal`alamiin…

Lanjutkan Membaca..

Syair-syair Jihad

Apa untuk Jihad di Sana Ada yang Mencari Jalan ?
Bagi setiap musibah ada penghibur yang meringankannya
Tapi bagi yang menimpa Islam tiada penghiburnya
Sampai semua mihrob menangis padahal ia benda mati
Bahkan seluruh mimbar merintih sedangkan ia kayu jati
Seorang `Abid yang tunduk kepada Alloh lagi penuh kekhusyu`an
Sedang air mata dari kedua pipinya bercucuran
Kini masjid-masjid telah menjadi gereja di waktu maghrib
Tidak ada di dalamnya selain lonceng dan kayu salib
Itulah musibah melupakan apa yang telah lalu
Dan tidak mungkin lupa walau waktu telah lama berlalu…
Wahai para penunggang kuda yang kurus kelelahan
Seolah ia burung penyambar dalam bidang pacuan
Wahai para penyandang pedang India yang tajam
Seolah ia bara api di kegelapan malam yang kelam
Wahai orang-orang bercengkrama di belakang sungai karena gembira
Di negerinya mereka memiliki kejayaan dan kuasa…
Apa kalian telah mengetahui berita tentang Islam sekarang
Sungguh para pengendara telah berjalan dengan berita mereka
Sungguh banyak para tokoh meminta bantuan
Sedang mereka tawanan dan terbunuh
Namun tidak bergeming satupun manusia
Kenapa saling memutus dalam Islam di antara kalian
Sedang kalian wahai hamba-hamba Alloh adalah Saudara
Apa tidak ada jiwa-jiwa besar yang memiliki cita-cita
Apa terhadap kebaikan ini ada penolong dan pembela…
Hai orang-orang yang untuk membela suatu kaum telah terpecah banyak golongan
Yang karenanya mereka diserang kekafiran dan kedurjanaan
Kemarin mereka raja-raja di istana mereka
Sekarang dalam belenggu kekafiran mereka menjadi sahaya
Andai engkau melihat mereka bingung tiada penunjuk jalan
Berbagai pakaian kehinaan mereka telah rasakan
Andai engkau lihat tangisan mereka saat diperjual-belikan
Tentu engkau terperangah dan diliputi kepedihan…
Ya Robb, bayi dan sang ibu telah dipisahkan
Sebagaimana ruh telah dijauhkan dari badan
Sang puteri yang tak pernah dilihat matahari dengan terbuka
Seolah ia berlian dan batu permata
Kini digiring si bule sebagai budak seraya dihinakan
Matanya menangis dan hati penuh keheranan
Untuk seperti ini hati luluh karena kesedihan
Andai di hati ini ada Islam dan keimanan
Apa untuk Jihad disana ada yang mencari jalan…
Sungguh surga peristirahatan telah penuh dengan hiasan
Bidadari dan para pelayan telah menengok dari kamar-kamar
Mendapatkan kebaikan ini demi Alloh mereka para pendekar
Kemudian sholawat kepada Al-Mukhtar dari Alloh semoga di limpahkan
Sepanjang angin berhembus dan berguncang dahan pepohonan…

Lanjutkan Membaca..

“Apakah diri paham apa itu islam”

SUFi ;”Apa yang dirimu inginkan dari islam
benarkah kepentingan pribadi bisa diutamakan?
Terlihat lucu trlampau gmpang islam diterjemahkan
terlihat lucu islam hnya digunakan hanya sebagai
bahasa akademik dlam teori hukum dan dalil
Orang sufi dalam belajar tda pernah utamakn teori
kepura2an , terlalu terpaku pada aturan dalam hukum
tapi ia lupa apa tujuan sjati islam itu!”,
 

Apa yang diinginkan allah sampai allah harus
turunkan nabi dan rasul tuk mengajarkan agma
menjadi orang pintar , pandai atau kemasyuran.
Allah itu tau dari hatimu dan bisa baca tjuanmu
Belajr agama tapi hanya jadi teori ilmu akal
bersifat ilmiah sedang hati prbuatan sbenarnya
bingung dan tak tau apa artinya,liat gayany
jika ada orang miskin datang pura2 sibuk
tapi yang mapan datng jubah terliat alim
bahasa santun dan lembut


saya takn jelaskn karna ini tak bole dijelaskan
karna hany pnderitaan ,kesusahan,ketakutan
takut gelap yang bisa mengerti karna allah
memang berkenan mau ajarkan maksud smua itu
karna mereka sedang terbuka pintu hati kejujuran
akan kebenaran akan ilmu allah dan yakin allah itu ada

Syair renungan

Sufi (ilmu tanpa wujud)

Read more: “Apakah diri paham apa itu islam” | Puisi ini berjudul “Apakah diri paham apa itu islam”

Lanjutkan Membaca..

“Pelajari agama tapi tanpa cinta”

Sufi:”sehina-hina diri adalah diri yang permainkan
tjuan sejati agama
Allah,islam bukan bahsa gelap
bukan sarang para munafiq berkumpul
menjadikan agama bahasa ketenaran untuk sesuap nasi
Agama hanya jadi bahasa emosi dan perkuat pembenaran diri
atas perbuatan diri yang sewenang-wenang.
Jangan karna kamu pintar maka seakan derajatmu naik
terhormat dan mulia
 

Jujurlah dasarmu atas ilmu agama yang dari kecil dipelajari
buat pa, kamu lupa kata orang tua-tua dulu.
Allah itu jangan diremehkan dan dipermainkan
Allah itu tau kezaliman pa yang dirimu perbuat atas firmanny
Allah turunkan alqur”an tuk obat bgi dirimu yang sakit
secara mental,maaupun jasmani,kla kamu bingung
Allah
perintahkan sholat,kla dirimu bermewah dan ria serta takabur
 

Allah beri obat berupa puasa,zakat bagi hatimu yang tamak dan
serakah akan harta.
Ingat azab
Allah itu banyak jenisnya diantranya sudah
da kamu rasakan tapi hatimu terlalu takabur tuk tau smua itu
cintailah
Allah dengan jujur,kembalilah berdkawah pada yang miskin
ilmu ,kalau mau
Allah beri tempat yang terbaik dia sana
syair renungan
sufi (keulaman tanpa ridho
Allah)

Karya : Khatimul Hasan

Read more: “Pelajari agama tapi tanpa cinta” | Puisi ini berjudul “Pelajari agama tapi tanpa cinta”

Lanjutkan Membaca..

Senandung rindu

Senandung rindu dalam kalbu
mengiang mendayu-dayu
bagaikan pipi di gores sembilu
rasa ngilu tiada mnentu

sampai kapankah aku terbelenggu
dari himpitan perasaan yang mengganggu

siang dan malan aku menjerit dan menangis
tapi tanpa suara apa apa . .

habis sudah air mataku
habis sudah harapanku

namun ku temukan setitik cahaya
ku tmukan pula setetes air kehidupan

yaaa Allah yaa tuhanku
hanya kepadaMulah aku menyembah
dan hnya kepadaMulah aku meminta pertolongan .

karya : Imam Fadly

Read more: Senandung rindu | Puisi ini berjudul Senandung rindu

Lanjutkan Membaca..

Jihat ataukah jahat

syariat yang jadi dasar agar kita taktersesat..
kini sedikit memudar hanya karna mengejar yang namanya jihat..
namun aku masih belum mampu untuk bedakan “jihat & jahat”..

bicara lantang mengenai hakikat..
namun menfikan sebuah ayariat..
yang harusnya kita pegang dengan erat..

sepontan berseru murtaad..
namun takpunya dasar yang bener bener melekat..
dan layak untuk dijadikan sebuah daulat…

bukankah hanya alloh sang juru nilai..?
apakah alloh sudah tidak sanggup lagi..?
sehingga harus kita (manusia) yang menilai..?
dan bukankah nabi SAW telah beri sebuah wacana..
“umat KU bakal terpecah jadi tujuh puluh tiga..
dan hanya satu yang selamat dan bisa kesurga bersamaNYA..”

kenapa kita harus permasalhkan sebuah perbeda’an..?
toh alloh juga yang menciptakan..
untuk menguji suatu pondsi iman..

benarkah jihat kalini jalan untuk membela agama…?
atokah malah jadi sebuah jalan menuju ke jaman jahiliah..?
yang dimana kekersan masih ada..
haruskah kita saling membunuh karna beda sebuah keyakinan..?

bukankah semua agama takpernah mengajarkan kekerasan..?
jadi dasar apakah yang “MEREKA” gunakan..?
maka jangan salhklan para umat..

jika akhirnya menilai bahwa agama kita “jahat”
dan pergi meninggalkan semua syariat..

jangan salahkan “MEREKA” jika banyak pengikut..
tapi salahkanlah diri kita yang tidak mensyiarkan sebuah syariat..
malah suarakan “JIHAT” tanpa mengenalkan sayriat..
siapa yang akan kita salahkan..?
jika nanti agama ini tersudutkan..
dan cuma akan jadi cemohan..

masyaalloh..
semoga alloh mengampuni kelalaian mereka..
dan menyelamatkan agama ini dari kehancurannya..

amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnn……
(tomi as selalu setia) email : astom77[at]yahoo[dot]com

Baca : Jihat ataukah jahat | Puisi ini berjudul Jihat ataukah jahat

Lanjutkan Membaca..

Nabiku Muhammad SAW

Ya Nabi Ya Rasulullah
Cahaya
hati kami kekasih Allah
Anta Syamsun anta badrun
Anta Nurun fawqa nuri
Engkaulah Surya yang menyinari kelamnya hati manusia
Engkaulah purnama penerang gelapnya jiwa manusia
Engkaulah cahaya diatas cahaya

Ya Nabiyallah Ya Habiballah
Betapa mulia akhalkmu
bagai cahaya kemuliaan Al-Qur’an
Besarnya perjuanganmu menegakkan agama
Agungnya cintamu menyayangi sesama
Hru senyummu padah Wajah Dunia
Betapa raah sikapmu tertanam dalam jiwa

Puisi ini karya:FAHAN DKK……

baca : Nabiku Muhammad SAW | Puisi ini berjudul Nabiku Muhammad SAW

Lanjutkan Membaca..

Gadis Suci

Pengarang: Sanca Boy

Buat : Gadis Suciku

kain suci menutupi auratmu….
kebaikan menjadi perinsipmu. dan…
senyum senantiasa menghiasi bibirmu.
gadis suci itulah julukanmu.

gadis berjilbab itulah panggilanmu
yang kan terus terukir dalam hatiku….

oh malaikatku…..
kau sungguh makhluk terindah dalam bumi
yang mampu menerangi hatiku yang gelap

oh malaikatku…..
kau telah merasuki relung hatiku……
dengan kecantikan hatimu

oh malaikatku…..
ku terpana padamu….
sejak pertama ku memandangmu.

Lanjutkan Membaca..

Do'aku

Pengarang: Sanca Boy

Maha kehidupan, kalau sungguh bagi-Mu aku dilahirkan
Bukakanlah hati, telanjangkan dada Dunia
Agar senantiasa daripadanya aku menyusu
Menghisap tenaga dari sumber-sumber yang murni.

Kupaslah Matahari dari kelopak wasangnya
Biar tak lagi berkedip dalam menatap dunia
Nyalang bagi harimau serta silau bagi gelita
Terbuka bagi asap dan bunga api waktu.

Ya Allah…..
Karena cinta Engkau meletakkan 2 malaikat di pundakku.
Dan Engkau pun berkata,
“Inilah pengasuh-pengasuhmu yang sayap-sayapnya bisa membawamu
terbang ke langit sekaligus berpijak di bumi”

Ya Allah….
Pada Muhammad Kau anugrahkan kemuliaan…….
Pada Sulaiman kau limpahkan keberadaan………….
Kau tunjukkan keindahan-Mu melalui Yusuf dan cinta kasih-Mu melalui Isa……..

Di hati kekasih sejati pun Kau tanamkan kema’rifan.
Kau jadikan bintang-bintang selalu bertasbih pada-Mu…………
Kau ciptakan pepohonan tuk berzikir pada-Mu……
Dan Engkau membuat binatang-binatang bersalawat pada-Mu.

Ya Allah……
Dalam sujudku, Ku usung berbagai harapan yang kan menenangkan batin ini.
Ya Allah….. Ya Tuhanku…….
Segala rasa dan asa ku pertautkan kepada-Mu.

Ya Allah………
Kini malam telah tiba di padang Arafah………
Dan di atas sajadah Bumi ini, di bawah mihrab langit-MU
Dengan segenap ketulusan kuserahkan kegelisahan,
pemberontakan, dan rinduku pada-Mu.

Ya Allah…..Ya Tuhanku………
Walau pun suara azan dibungkam Rumah-rumah-Mu digusur…..
Aku adalah hamba-Mu…. Yang takkan berhenti menyembah-Mu.
:Inna Shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil ‘alamin……..
Aku ini adalah hamba-Mu yang takkan pernah lupa
: Sesungguhnya shalatku dan ibadahku hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah Tuhan sekalian alam.

Ya Allah……Ya Tuhanku……..
Kapan lagi aku masuk ke arus sungai darah-Mu Jika tidak saat ini juga?????
Laut-Mu terlalu dalam untuk ku salami, tapi kelewat mengundang jika hanya ku pandang……..

Ya Allah……….Ya Tuhanku………
Aku terlalu lelah berperang melawan nafsu dan kesia-siaan…….
Yang memburuku dan mengintai dari rongga jiwaku.
Izinkan saat ini juga, aku masuk ke pori-pori tubuh-Mu,sembunyi dalam urat nadi-Mu

Agar terhindar dari segala tembakan dan tarlepas dari segala jebakan.
Izinkan pula ku minum darah-Mu tuk menjadi darahku yang kan mewarnai detak jantungku.

Lanjutkan Membaca..

Doa Dan Harapan

Pengarang: Ely K

Lirihku semoga jadi doa
Tangisanku semoga jadi sesal
Nafasku semoga jadi tasbih
Tatapanku semoga jadi rahmat
Perkenankanlah Ya Rabb…
Harapanku semoga jadi kenyataan
Resahku semoga jadi jawaban
Deritaku semoga jadi kesabaran
Pelitaku semoga jadi impian
Kabulkanlah Ya Rabb…
Doa di dalam sujud dan ruku
T’lah menghadirkan cahaya
Melaksanakan kepingan sisa harapan
Tuk meraih ampunanMu … Ya Rabb

Lanjutkan Membaca..

Di Penghujung Ramadhan

Pengarang: Ely K

Kala kerinduan belumlah usai
Kala penghayatan dalam doa belumlah sempurna
Menapaki lajunya perjalanan yang tiada henti
Menyusuri lorong yang penuh liku menghadang
Kuingin Kau basuh dalam renunganku
Saat Kau pancarkan cahaya dalam bulan nan mulia
Mengharapkan ampunan dalam sujudku yang panjang
Masihkah kan kupalingkan wajah ini?
Ingin kuhapus semua noda dan dosa
Ingin kuhempas semua kobaran emosi dalam dada
Meluruhkan jiwa yang sarat dengan hasrat
Tenggelam dalam tangisan penuh sesal
Sanggupkah kan kutapaki hariku?
Menyongsong esok yang t’lah siap menanti
Semoga di penghujungmu ya Ramadhan
Ampunan Illahi kan terpancar lewat pribadi nan luhur

Lanjutkan Membaca..

Bahasa kepalsuan dalam dakwah

Sufi; Inti ilmu allah dasarnya sifat 20
dimana itu awal mengenal diri,
merasakan dan menghayati
akui guna bahasa wujud itu apa
bagi diri,qidam tersirat bertujuan apa
dll.


ALLAH takkan mnjadi tuntunan
bahasa spritual ,jika amalan yang
terkandung tidak jadi pembenaran
perbuatan sesat diri,seperti ingatkan
berlaku hati bersihlahh dalam
mengamalkan ilmu ALLAh.
Sholat jadikan bahasa tertib diri
dimana itu adalah tuntunn allah
tuk melatih rasa hormt,dan
membiasakan diri tuk ttp latih
agar diri bisa redam gengsi dan sombong
kl berbaris dalam saf sholat


ALLAH biasakan dirimu
berkumpul dan mendekati diri pada siapapun
Jangan karna dirimu ulama sholeh
dipuja dan disanjung seakan derajatmu
lebih tinggi setara nabi
memilih pejabat atau hartawan satu saf
dalam sholat.
Ingat dirimu sendiri dan masyarakat
yang mengklaim kau adalah ulama dan tokoh
pejabat terkenal


apa benar dimata allah kamu punya status hebat
JIn ifrit yang punya status hebat
karna punya lagak gengsi dan merasa harus dihormati
maka langsung dihukum allah
ketika diuji imannya dengan menyuruh bersujud pada
nabi adam langsung dihukum tanpa ampun
gimana seandainya itu adalah dirimu
ada yang mintamu jadi imam
sedang kamu liat dia sangat hina
dengan gubuk miskin dan bau
dengan kata tk bijak menolak
menurutmu apa allah mau trimamu
masuk surga

Renungan sufi (Kesadarn dakwah stengah hati)

Lanjutkan Membaca..

Kesalahan Orang Lain Untuk Pembelajaran Kita

Oleh Halimah

Hidup ini memang sebuah misteri. Kita tak tahu awal dan akhirnya, tak tahu apa yang akan kita hadapi hari ini atau pun besok? Kita sendiri tak tahu apakah kita masih bisa tersenyum di menit berikutnya? Misteri kehidupan yang bila tak di sandingkan dengan keimananan yang kokoh akan membuat kita labil dalam setiap keputusan yang akan kita genggam.


Kadang kita tak mengetahui, apa sebuah sebab terjadi. Atau apa sebab adanya sebuah kejadian yang kita tak inginkan. Keinginan untuk selalu survive dalam sebuah komunitas sosial yang beragam memang dibutuhkan kecerdasan, yang tentu saja harus bisa didapatkan bila kita dapat memaknai sebuah persoalan.

Lanjutkan Membaca..

Ibu, Oh Ibu

Oleh Desriani

Assalamualaikum wr wb......

Nama saya Desriani saat ini lagi studi di Tokyo.....Tulisan ini dibuat oleh adik saya Dian Hafizah......Saya pengen pembaca yang lain juga menikmati tulisan Dian.....semoga ada hikmah yang bisa dipetik.......
Saat saya mencoba membuat tulisan ini agak bingung juga awalnya. Tidak tahu mulai dari mana hanya berusaha mencoba mengarang-ngarang apa kira-kira yang akan saya tuliskan, karena sepertinya tidak ada darah pujangga yang mengalir dalam darah saya dan saya pun menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa pemilihan kata-kata saya sangatlah terbatas jika tidak mau dibilang sangat payah, apalagi yang akan dibahas topiknya adalah suatu yang istimewa bagi orang banyak yaitu tentang ibu.
Sebetulnya tema ini adalah sesuatu yang tidak pernah basi untuk dijadikan inspirasi, bagaimana tidak, mulai dari puisi, lagu hingga ke kata-kata indah di dalam blog, koran maupun majalah banyak yang mengagung-agungkan betapa mulianya peran seorang ibu sebagai pelindung, pengayom dan tempat anak-anaknya mengadukan semua masalahnya. Dulu sewaktu kecil saya pernah mendengar lagu dari penyanyi yang saya lupa namanya, liriknya sederhana namun sangat menyentuh hati

   “Ibu, ibu,........
    engkaulah ratu hatiku,
    bila kuberduka,
    engkau hiburkan selalu,
    ibu, ibu.......”

 
Saat saya menulis tulisan ini pun sayup-sayup saya mendengar lagu Melly Guslow berjudul bunda yang terkenal itu dari telepon genggam teman saya yang menjadikan lagu itu sebagai nada deringnya. Begitu banyak semua penghargaan dan semuanya itu didedikasikan bagi ibu seorang.
Ironisnya waktu saya kecil dahulu pernah terlintas pikiran bahwa apa yang dilakukan oleh seorang ibu dalam mengasuh dan merawat anaknya adalah sudah sewajarnya dilakukan oleh setiap wanita yang memiliki anak. Semua orang melakukannya dan bila kelak saya sudah besar sayapun akan melakukan hal yang sama. Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa saya yang dibesarkan oleh ibu yang dalam anggapan saya adalah biasa saja sebenarnya adalah orang yang benar-benar beruntung. Bagaimana tidak karena kenyataannya banyak wanita yang membuang bayi dan menelantarkan anak-anaknya atau bahkan mengeksploitasi anak itu untuk kepentingan mereka sendiri. Terus apakah mereka bisa dipanggil sebagai ibu? entahlah....
Apakah anda pernah merenung tentang oksigen yang terdapat bebas di alam raya sebagai tanda kasih sayang tuhan kepada kita. Udara itu selalu memenuhi rongga dalam tubuh kita dan mengalir dalam aliran darah kita tanpa kita sadari. Namun pasti tak pernah kita membayangkan apa yang terjadi bila kita satu menit saja tanpa udara, maka apakah yang akan terjadi. Kasih sayang seorang ibu itu tidak ubahnya seperti udara yang selalu kita hirup tadi. Ia juga adalah hadiah yang diciptakan Tuhan untuk kita. Tapi kadang kala keberuntungan itu memang kurang bisa kita disyukuri karena sudah bertahun-tahun kita nikmati, sehingga yang terjadi kita malah selalu merasa kurang dan menganggap itulah yang seharusnya terjadi.

Sedari tadi saya menyinggung-nyinggung tentang keistimewaan ibu seolah olah beliau adalah seorang yang tak boleh melakukan salah. Sama sekali tidak seperti itu, bagaimanapun ibu bukanlah malaikat tanpa cela dan noda. Seorang ibu adalah manusia biasa juga yang pasti ada salah dan khilafnya. Ibu saya pun begitu pula. Namun hal itu tidak menghalangi saya untuk memenuhi masa kecil saya dengan mozaik-mozaik yang berisikan pengalaman-pengalaman baik suka maupun duka bersama dengan ibu saya.
Saya teringat pernah suatu ketika saya yang usia siswa sekolah dasar mengejar-ngejar ibu yang dengan “teganya” meninggalkan saya yang notabene adalah anaknya.

Ups.... jangan salah sangka dulu bahwa ibu saya tidak bertanggung jawab terhadap anaknya, karena waktu itu ibu saya yang berprofesi sebagai guru sudah terlambat mengajar dan saya yang akan berangkat sekolah (yang pastinya terlambat juga ) masih sibuk mencari pasangan kaus kaki yang hanya sebelah padahal ibu saya sudah jauh hari mengingatkan untuk menyiapkan keperluan besok paginya tapi tidak saya lakukan. Waktu itu saya sempat protes kenapa ibu saya bukan ibunya teman saya yang pastinya akan mempersiapkan kebutuhan anaknya alih-alih menyuruh anaknya mempersiapkan kebutuhannya sendiri sambil menangis bombay di tepi jalan sampai akhirnya berhenti sendiri karena malu dilihat orang (he he he akhirnya saya tidak jadi sekolah hari itu dan akhirnya dimarahi oleh ayah saya).

Atau pada saat saya marah-marah karena ternyata cokelat yang saya sayangi dan dimakan sehemat mungkin hingga diharapkan bisa bertahan dalam waktu yang lama dan sudah saya sembunyikan dengan baik di dalam lemari baju tiba-tiba raib entah kemana. Usut punya usut ternyata keberadaannya diketahui sudah berada dalam perut ibu saya.
Kenangan lain yang saya ingat adalah bagaimana setiap hari ibu saya selalu menyisir rambut saya yang panjang. Jangan bayangkan rambut saya lurus dan bagus karena secara saya itu anak SD yang sebenarnya belum mampu mengurus rambut sendiri sering kali rambut saya kusut dari pada rapinya tapi tetap saja saya bersikeras tidak mau memotong rambut saya, maka kemudian ibu saya bercanda bilang bahwa rambut yang tidak mau diatur itu mencerminkan hati yang kusut pula dan karena saya anak kecil yang tidak tahu arti candaan malah menanggapinya serius dan bersungut sungut karena dibilang kusut hati padahal keesokannya tetap saja akhirnya saya mencari ibu untuk menyisirkan rambut saya lagi.

Namun dari semuanya itu saya juga teringat saat ibu saya selalu menunggui saya yang memang selalu penyakitan sedari kecilnya. Pernah saya untuk pertama kalinya pulang ke rumah naik bus sendirian dari kota tempat saya kuliah ke kampung pada malam hari pula, dan kemudian langsung masuk angin dan muntah-muntah. Ibu lalu mengusapkan balsem ke dada dan punggung saya dan menunggui saya semalaman. Itu baru masuk angin, coba bayangkan apa yang dilakukan oleh ibu saat asma saya kambuh malam buta dan saya kesulitan bernafas padahal penyebab asma saya kambuh adalah karena saya melanggar pantangan dokter dengan minum es sembunyi-sembunyi di siang hari.
Atau saat ibu memberikan saya entah itu makanan ataupun buah-buahan dan kemudian kami memakannya berdua secara sembunyi-sembunyi. Jangan beranggapan bahwa tidak ada makanan di rumah kami karena sebetulnya setiap hari saat ibu pulang berbelanja pasti ibu selalu membawa makanan berupa camilan dalam jumlah yang banyak antara lain tape, lemang, kerupuk, sate, berbagai macam es, dan berbagai macam buah sesuai dengan musimnya, namun ada beberapa makanan favorit yang hanya bisa diakses oleh ibu saja. Dasar namanya anak-anak walaupun banyak makanan lain namun apabila bisa memakan makanan yang disembunyikan ibu membuat saya merasa diistimewakan dari saudara-saudara yang lain. Pada saat saya sudah agak besar saya baru tahu bahwa ibu juga membeli makanan “istimewa” tadi dalam jumlah yang banyak dan memastikan semua anaknya dapat makanan “istimewa” itu.

Saya dan saudara saya juga sering berburu harta karun di rumah. Yang dimaksud harta karun ini makanan yang disembunyikan oleh ibu antara lain berbagai macam permen, milkshake, kopi instan, dan berbagai macam jenis kacang-kacangan dan makanan favorit ibu manisan buah pala, tentu saja hal ini berlangsung tanpa sepengetahuan ibu. Harta karun ini tersebar di berbagai tempat di rumah antara lain di laci meja, di dapur, dalam kaleng, dibalik pintu dan tentu saja di dalam lemari di bawah tumpukan baju (nah sekarang tahukan bakat siapa yang saya warisi....).
Selain membeli makanan ibu juga rajin sekali membuat berbagai macam kue, seingat saya selalu ada persediaan tepung terigu, gula dan telur di rumah. Sore-sore ibu membuat bolu atau bubur kacang hijau atau bila bakat eksploitasi ibu lagi meningkat ibu kemudian mencoba resep-resep aneh di majalah. Saya sering bertindak sebagai asisten ibu biasanya sebagai tukang timbang atau tukang bakar dan yang paling sering adalah sebagai tukang cuci piring (salah satu tugas yang tidak saya favoritkan). Saat saya dewasa bakat ini kemudian menurun ke saya.
Walaupun ibu membuat camilan dalam jumlah banyak (bayangkan saja ibu selalu membuat bubur kacang hijau satu panci besar) namun pasti selalu habis dan anehnya selalu saja ada yang mengaku belum dapat (atau belum dapat banyak). Untuk mengantisipasinya biasanya ibu menyisihkan sebagian makanan tersebut sehingga apabila ada yang komplain bisa minta lagi pada ibu.

Bila kita bicara tentang kerajinan yang dilakukan oleh ibu, salah satu hal lain yang rajin dilakukan oleh ibu waktu kami anak-anaknya masih kecil adalah mencari kutu. Bukan jorok atau apa tapi karena kami tinggal di kampung yang notabene anak-anaknya tidak dibesarkan secara higienis masih banyak anak-anak yang kutuan dan karena kutu itu menular maka migrasi kutu antar kepala satu dengan yang lainnya tak terhindarkan. Jadi hipotesisnya kalau anda ingin populer dan mempunyai banyak teman maka kutuan adalah resiko yang harus anda terima. Ditambah lagi dengan kutu yang dibawa oleh kakak saya yang tertular dari teman kosnya (kakak saya yang tertua kuliah di kota yang berbeda) maka populasi kutu di kepala kami pun bertambah padat dengan pertumbuhan penduduk yang bertambah secara signifikan. Waktu itu belum ada peditox jadinya proses pembasmian kutu dilakukan secara manual dan kontinu oleh ibu dengan bersenjatakan sisir yang rapat dan dialas dengan kain putih bekas popok adik bayi saya. Akibat insiden kutu ini pulalah kemudian saya merelakan rambut panjang nan kusut masai tapi saya sayangi dipotong pendek ala cowok.
Banyak lagi kenangan lain yang saya lalui bersama ibu di samping saya, seperti pada saat saya ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri di kota, sepertinya hanya saya satu-satunya peserta ujian yang ditunggui oleh ibu, walaupun diolok-olok oleh teman saya tapi keberadaan ibu di luar ruang ujian merupakan obat mujarab yang mampu menenangkan hati saya yang bergemuruh (ternyata belakangan baru saya tahu bahwa ibu tidak menunggu di luar kelas saat saya ujian karena beliau pergi berbelanja ke pasar dan kemudian kembali lagi saat ujian hampir selesai ). Bahkan kebiasaan diantar dan ditunggui ibu masih berlanjut sampai saat saya akan menyusun skripsi, ibu dengan setia menemani saya mengumpulkan data ke petani bahkan ikut hadir dan menimpali tanya jawab yang saya lakukan dengan petani tersebut (“Serasa penelitian S3” kata beliau). Tentu saja saat yang paling membahagiakan dan yang bisa saya banggakan adalah saat ibu menghadiri wisuda saya. Pastinya wisuda bukanlah suatu akhir tapi adalah satu pintu untuk memulai tahapan baru dan saya senang karena bisa mempersembahkan momen tersebut untuk ayah dan ibu saya.


Hingga akhirnya saya seperempat abad begitu banyak kenangan yang tidak akan terlupakan. Sekarang saya berada jauh dari ibu sehingga barulah kemudian saya menyadari betapa beruntungnya saya jadi bagian dari hidup beliau. Saat ini kami lebih banyak berkomunikasi dengan menggunakan telepon saja. Beliau sering menelepon hanya untuk menanyakan kabar dan apakah saya sudah makan atau belum. Suatu kali beliau bercerita bahwa bubur kacang hijau yang dibuatnya hanya setengah dari porsi yang biasanya tidak jua habis padahal sudah dua hari terletak dalam kulkas. Kebiasaan beliau menyembunyikan “harta karun” juga masih saja dilakukan sampai sekarang padahal tidak ada lagi yang akan menghabiskan.
Saat-saat yang paling saya tunggu adalah saat musim liburan dan ada kesempatan pulang, saat itulah kami anak-anak beliau berkumpul lagi dan rumah kembali ramai, dan itu artinya perburuan harta karun pun berlangsung dan ibu dapat menyalurkan hobinya membuat camilan walaupun kemudian sering ngomel-ngomel karena belum sempat mencicipi makanan yang dibuatnya sementara camilannya itu sudah habis duluan. Dan saat masa itu tiba dengan semua kehebohan yang terjadi tidak pernah terpikirkan lagi bahwa andaikan ibu saya berbeda dari yang sekarang ini.
Demikianlah sepenggal kisah yang saya lalui bersama dengan ibu diantara banyak kenangan lain yang tak terlupakan, ada suatu quote yang pernah saya baca menginspirasi saya untuk membuat puisi
Ibu saya bukanlah Khadijah yang melahirkan generasi penerus nabi,
bukan pula ibu Iqomah yang maafnya seluas samudra,
Ibu saya hanyalah ibu diakhir jaman,
Yang meregang nyawa melahirkan generasi penerus darahnya,
Dalam maafnya ada pengampunan,
Dalam salahnya ada pembelajaran,
Air susunya mengalirkan kehidupan;
Karena anaknya adalah kesayangan.

Lanjutkan Membaca..